Pagi ini masih sama, masih sarapan dengan menu rindu. Dalam keadaan yang sama, masih saja nekat, menatap potret berdua. Kadang, hening meniadakan kenikmatan, semisal kopi, rokok, tanpa kau yang sedang dirindukan. Kurang lebih sepuluh menit sudah kumenunggu ampas kopi pagi pertamaku turun, sebelum tegukan pertamaku, seperti biasa, kusematkan rindu diatas cangkir kopiku.
Tidak terasa, semilir angin senja datang, kuning kemerahan matahari mulai sembunyikan dirinya, dariku, darimu, dari rindu. Lamunan yang tak kunjung menemukanmu, meski mata telah memerah karena lelah merekam senja.
Malam kembali datang, pertanda rindu ini makin dingin, dan aku tak ingin, saat setiba kau datang, rindu ini tak dapat menghangatkanmu. Sesekali, sembari menulis rindu diatas kaca jendela berembun, kuganti secangkir kopiku dengan sekaleng bir.
Tiba-tiba saja, aku merasa lebih ringan, melihat perindu yang telah berhari-hari duduk disisi jendela kamarnya. Mendekatlah aku pada si perindu, ingin mencicipi kopi hitamnya yang nyaris tinggal ampas. Pahit sekali, tanpa gula sama sekali, sepahit rindu.
Akhirnya, aku tahu bahwa si perindu itu adalah aku, yang terduduk kaku, menunggu sang pemilik rindu. "Karena rindu begitu nyeri, rehatlah sejenak, sebelum rindu merampas kebahagiaanmu."