Pada akhirnya manusia itu menepati janjinya pada takdir, semoga kelak takdir itu bersandar pada hakikat. Ketika tiap manusia menyelami tiap dari alur yang telah tercipta atau mencipta. Ketika kita dahulu adalah ketidakpastian, maka kita sekarang menjadi sebuah kenyataan. Ketika harus ada bagian prosa yang tersembunyi di balik tiap tirai yang tersela di balik tembok kamar.
Saksi bisu antara percakapan, dan ketika itu pula kau mulai menjelajahi rahasiaku, dan kau tahu, aku melebihi dia dan mereka. Ku ungkapkan tiap syair itu, dan aku tak pernah sepeduli ini, karena aku tahu betapa berat pendakian itu, hingga puncaknya, kau terjun bebas ke kaki bukit. Ku hanyalah akar tanaman yang mengakar, mencoba menahan hatimu, ragamu, agar kau bertahan di sana, dan kembali mendaki. Bukan ke puncak yang sama, melainkan sebuah puncak hakikat dari perjalanan yang kau dengar selama kau bertahan. Bila kelak kau sapa matahari, maka kau akan tersenyum, dan bila kau sapa bulan dan bintang, maka kau akan tersenyum.
Aku tak pernah tahu cara akar itu tumbuh dan menjerat, yang aku tahu ku akan terus berusaha menopang tiap jengkal sesak tertatihmu, dan biarlah angin yang merobohkanku, ataupun kau sendiri yang merobohkanku, namun ku tak melepasmu walau bukan lagi dalam bentuk akar itu. Dan dalam bentuk apapun, ketika itu percayalah bahwa aku telah ikhlaskan, hingga kau sadar akan perjalanan itu berakhir.