Selasa, 04 Desember 2012

Sebuah Tanya

akhirnya semua akan tiba
pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
apakah kau masih berbicara selembut dahulu?
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku
kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah mendala wangi
kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin
apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat
lampu-lampu berkelipan di jakarta yang sepi, kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya. kau dan aku berbicara. tanpa kata, tanpa suara ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita
apakah kau masih akan berkata, kudengar derap jantungmu. kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta?
haripun menjadi malam, kulihat semuanya menjadi muram. wajah2 yang tidak kita kenal berbicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti. seperti kabut pagi itu
manisku, aku akan jalan terus
membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang begitu biru


Soe Hok Gie
Selasa, 1 April 1969

Minggu, 02 Desember 2012

Angin Pujaan Terbang.

Sebelum kumulai tulisan ini, aku berkata dalam hati "Aku mencintaimu." agar jemari bisa dengan tenang menyusun kata yang tak sanggup terbata oleh suara.


Rasanya aku terbang. Tiap kali melihat wajah tampannya. Iya, kaulah yang kumaksud dengan kata tampan. Biar kau besar kepala, aku tidak menyesal, apalagi peduli telah mengatakannya berkali-kali.

Rasanya aku terbang. Saat basa-basi sapa yang kunanti datang begitu segera, adalah balasan dari gerak-gerik mataku yang menyorot senyuman indah itu, nyaris tiap sepuluh detik saat kita berada dalam satu tempat yang sama.

Rasanya aku terbang. Saat kau memperlihatkan puisimu yang mencuri hatiku dalam hitungan detik saja. "Kau adalah ahli kunci!" aku bergeming dalam hati yang sudah lama kukunci karena rusak.

Rasanya aku terbang. Kita habiskan hari-hari dengan sederhana; makan siang dan malam bersama seadanya, menonton televisi sembari beer me, beer you tawa dan bermain gaple hingga tengah malam. Sesederhana itu aku bisa begitu cinta.

Dan akhirnya.
Rasanya aku jatuh.

Rasanya aku lumpuh. Sayapku tak lagi bisa terbang. Tak ada angin di antara kepak sayapku. Tak ada. Sehalus pun hembusan nafasku.

Rasanya aku lumpuh. Sebelah sayapku patah. Bukan. Tidak hanya sebelah sayap, hati pun lebih parah dari patah; pecah.

Rasanya aku tidak ada. Saat kau membawa angin bersyarat; "Bisakah kau membuatku menyesal jika aku kehilanganmu (lagi)?" tawarmu dengan tegas. Dengan keadaan gemetar, "Bisa!" kujawab dengan lantang. Tapi kenyataannya, ketabahanku menanti angin pujaan terbang meretas kecemasan. Alangkah tragis, aku yang mencintaimu dengan sepenuh hati dan kau mencoba mencintaiku dengan begitu hati-hati; berbekal niat ingin pergi meninggalkanku (lagi).

Akhirnya.
Rasanya aku butuh suntik mati. Biar cinta ini kukubur sendiri. Sebab, aku tak bisa berjuang sendiri dengan sebelah sayap yang patah dan hati yang pecah.

Coldplay - The scientist

 

Blog Template by YummyLolly.com