Sabtu, 25 Februari 2012

Rindu adalah nyeri dada, selebihnya terbang bersama asap putih, jatuh bersama abu.

Pagi ini masih sama, masih sarapan dengan menu rindu. Dalam keadaan yang sama, masih saja nekat, menatap potret berdua. Kadang, hening meniadakan kenikmatan, semisal kopi, rokok, tanpa kau yang sedang dirindukan. Kurang lebih sepuluh menit sudah kumenunggu ampas kopi pagi pertamaku turun, sebelum tegukan pertamaku, seperti biasa, kusematkan rindu diatas cangkir kopiku.

Tidak terasa, semilir angin senja datang, kuning kemerahan matahari mulai sembunyikan dirinya, dariku, darimu, dari rindu. Lamunan yang tak kunjung menemukanmu, meski mata telah memerah karena lelah merekam senja.

Malam kembali datang, pertanda rindu ini makin dingin, dan aku tak ingin, saat setiba kau datang, rindu ini tak dapat menghangatkanmu. Sesekali, sembari menulis rindu diatas kaca jendela berembun, kuganti secangkir kopiku dengan sekaleng bir.

Tiba-tiba saja, aku merasa lebih ringan, melihat perindu yang telah berhari-hari duduk disisi jendela kamarnya. Mendekatlah aku pada si perindu, ingin mencicipi kopi hitamnya yang nyaris tinggal ampas. Pahit sekali, tanpa gula sama sekali, sepahit rindu.

Akhirnya, aku tahu bahwa si perindu itu adalah aku, yang terduduk kaku, menunggu sang pemilik rindu. "Karena rindu begitu nyeri, rehatlah sejenak, sebelum rindu merampas kebahagiaanmu."

5 komentar:

  1. ngebaca sambil dengerin alunan christina perriNya jadi buat merinding
    hhe :)
    #lebay

    BalasHapus
    Balasan
    1. Silahkan dinikmati, jangan lupa seduh secangkir kopi sebelum menikmati tulisan-tulisan, disini.
      *Senyum*

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Pada musim gerimis yang kesepian. Kepada bayangan yang terbitkan angan.
    Goresan cahaya bersahaja dari puing-puing bahasa dan ranting-ranting sajak penyair perempuan yang suka kopi.

    Malam ini cantik, begitu juga dengan perempuan itu.
    Bening seindah goresan tinta sajaknya yg mengalun terbangkan bulu kuduk ku.

    Dalam dekapan angin dan dingin malam. Buaian langit yang teduh membiru. Dalam pekatnya kopi jeruji malam. Kau tadah rindu dengan tangis. Kau balut luka dengan menyendiri, yg menindih pundakmu hingga kau penat, entahlah sampai kapan?

    Kau tumpukan rindu, yg tak kunjung terungkap hingga terkikis oleh fana. Hanya kopi ini terbangkan khayalmu yang pecah bagai percikan meteor, yg tak kunjung mencium tanah, berderai sampai musnah, dan terus kau susun kembali menjadi satu. Utuh. Padu, seiring bibir manismu yg melekat dicangkir kopi pahit dan syahdu.

    Jangan menangis perempuan, tersenyumlah karna malam tiba, teguklah kopi pahit syahdumu...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih, tulisan yang sangat manis.
      *Senyum*

      Hapus

Coldplay - The scientist

 

Blog Template by YummyLolly.com