Selasa, 24 Juli 2012

Amplop coklat


Esok pagi, aku akan berhenti mencemaskan rintik hujan, mengobati gundah dengan secangkir mocha latte hangat persembahan. Sembari menatap matahari setengah tenggelam, meski penuh. Menghabiskan tiap sesap dengan khusyuknya menyulam asa yang belum sempat kuselesaikan, sejak aku terlalu sibuk memikirkan seseorang yang kusebut Tuhan atas sajak-sajakku.

Kali ini, giliran benang merah jambu, berharap menuai kisah baru yang lebih lembut untuk kulumat dengan lidahku. Menyeruam sebuah nuansa bening, seraya nama yang selalu kusebut dalam hening kalbu. Meski detak jam dinding memecah hening, tiap detik berdenting, tiap makna yang disampaikan oleh lampu di atas meja kerja, yang hanya sudi menyoroti kertas kosong, tanpa setitikpun tinta menodainya. Maukah ia menuliskan sesuatu di atasnya? Serupa ia telah menodai kisahku, dan kali ini yang aku ingin adalah mewarnai.

Harapanku telah tersulam bersama benang merah jambu tadi, selain itu ada benang biru awan yang mengindahkannya, membentuk hati yang mempertegas warna apa yang sedang menguasai hati ini. Bukan hitam, bukan warna lain yang telah diciptakan selain salah dua yang kusebutkan tadi. Karena aku yang menyulam, karena ada seseorang yang akan menuluskan kisah dalam selembar kertas, bahkan lebih. Sebab asa dalam kisah adalah selamanya. Jika tak di sini, mungkin nanti, musti abadi.

Sembari menunggu ia menyusun warna-warni pada batangan crayon, biarlah kulamunkan semua setinggi balon oksigen yang akan dipecahkan oleh tekanan udara di dalamnya. Tak perlu khawatir, karena itu yang aku harapkan dari amplop surat berwana coklat berlilit tali balon oksigen tadi, berisi surat yang kurahasiakan isinya dan ia adalah penerima. 

"Nanti, jika kau menemukannya sedang tersangkut di ranting pohon atau terselip di sela-sela dedaunan, ambillah, dan baca. Dengan segera, temui aku di bawah sorot lampu taman bersama bangku taman yang lengang."

Minggu, 22 Juli 2012

Jelmaanmu

Aku ingat, pernah ada yang berbisik lembut di telinga kananku, "Lupakanlah, aku tak ingin semakin dalam menyakitimu.", katanya. Aku masih ingat betul siapa pemilik suara itu. Benar, kau yang hingga kini masih berenang-renang di kelenjar air mataku, dan menjatuhkan dirinya saat aku merindu. Seakan nyata tiap kali rekaman wajah tampanmu bermain di balik kedua mataku, seperti sedang menonton drama korea yang tragis dan mengharu-biru. Betapa aku mencintai tiap sayatan rindu yang meneteskan darah ketidakrelaanku melepasmu dengan pelukan lain yang menyambutmu, bukan, yang benar adalah merampasmu. Tapi, jika kebahagiaanku di dunia hanyalah sebatas rindu yang berumah dengan betahnya di rongga dadaku, semoga kebahagiaanku di akhirat nanti, segala atas kepemilikanku padamu, selamanya. Sangat kuaminkan dalam hati.

Karena bagiku, Tuhan menciptakan rindu hanya untuk mengajarkanku bagaimana mencintaimu dalam semu, mendoakanmu dengan nyanyian-nyanyian syahdu. Tapi, tidakkah kau merasakan sentuhan kerinduanku yang dibawa oleh angin di musim panas padamu, yang dijatuhkan oleh hujan di musim kemarau hanya untukmu dan yang dipersembahkan oleh matahari di musim dingin yang membekukanmu? Semua itu dariku, Sayang. Untukmu, dari dalam sini. Maka, bolehkah aku memintamu untuk berbisik satu kali lagi, dengan kalimat yang berbeda, yaitu "Aku mencintaimu". Dengan begitu, aku akan tidur dengan nyenyak malam ini, dan menyusun masa depan kita dalam mimpi. Indah sekali, bukan? Senyumku tak pernah semanis ini dan suaramu tak pernah semenggoda itu. Menggodaku untuk terus menulis tentangmu, tentang kita. Menggodaku untuk terus tidur, hanya untuk menemuimu. Menggodaku untuk terus mencintaimu dalam semu, dalam seni merindu versiku.

Sayang, tak perlu kau merasa terbebani jika kau tak ingin, aku hanya ingin kau menyempatkan diri untuk mampir ke sini, ke dalam hatiku lagi. Untuk membersihkan rindu-rindu yang telah berjamur, dan melakukan hal-hal menyenangkan di dalam daftar yang telah kutulis setahun yang lalu. Namun, jika kau tak dapat juga ingin, bolehkah aku memaksa dan  menjemputmu? Bersama kereta kuda berwarna kesukaanmu, diiringi oleh nyanyian syahdu yang sering kunyanyikan sembari merindumu. Indah sekali, alangkah ruginya jika kau melewatkannya. Karena aku yakin, dia yang memelukmu dengan kedua tangan yang terpasang sarung tinju takkan bisa melakukan apa yang selalu bisa aku lakukan untukmu dengan cinta selembut coklat yang lumer di lidah, dengan cita-cita yang telah kususun dengan logika yang mendominasinya.

Ingat, Sayang. Ini bukan janji, ini adalah ...

Rabu, 04 Juli 2012

Ibu..

Ibu, yang mulia
Kupanjatkan cinta menjelma doa-doa
Kukecup matamu yang basah
Kupungut remah-remah resah
Kukunyah dan kutelan duka
Kututupi luka yang menganga

Ibu, yang mulia
Harum, wangi Sorga
KataNya; aku setuju padaNya
untuk Ibu,
atas nama cinta dan segala
kumohon segala ampunan padaNya

Selamat Ulang Tahun Ibu..
03/07/12

Selasa, 03 Juli 2012

Hening...

Sayang, mari kita coba lagi, apa saja selain melerai hening. Sudah hampir dua jam kita duduk rapi tanpa kata, berteman apa-apa. Ada apa dengan kita? Kita mesra, kita paham, kita hanya, kita...

Ini cangkir ketiga, piring kedua, dan kita masih sama. Aku sangat menikmati keheningan ini, keheningan yang kulumat dengan hangat, keheningan yang kuanut sembari memeluk sorot mata, seorang laki-laki kecintaanku. Tak ada sepatah kata pun terbata, hanya tatap mata, hanya bertukar nafas dariku-darimu, dalam diam.

"Sayang, bolehkah aku berbicara?" tanyaku. "Silahkan, Sayang." jawabmu. Akhirnya, sesepi pecah dengan suara serak-serak basahnya. Dan aku kembali hening, kutundukkan kepala, kupungut huruf demi huruf penyusun kata-kata, "Mari kita pulang" dan "Aku mencintaimu".

Coldplay - The scientist

 

Blog Template by YummyLolly.com