Aku ingat, pernah ada yang berbisik lembut di telinga kananku, "Lupakanlah, aku tak ingin semakin dalam menyakitimu.", katanya. Aku masih ingat betul siapa pemilik suara itu. Benar, kau yang hingga kini masih berenang-renang di kelenjar air mataku, dan menjatuhkan dirinya saat aku merindu. Seakan nyata tiap kali rekaman wajah tampanmu bermain di balik kedua mataku, seperti sedang menonton drama korea yang tragis dan mengharu-biru. Betapa aku mencintai tiap sayatan rindu yang meneteskan darah ketidakrelaanku melepasmu dengan pelukan lain yang menyambutmu, bukan, yang benar adalah merampasmu. Tapi, jika kebahagiaanku di dunia hanyalah sebatas rindu yang berumah dengan betahnya di rongga dadaku, semoga kebahagiaanku di akhirat nanti, segala atas kepemilikanku padamu, selamanya. Sangat kuaminkan dalam hati.
Karena bagiku, Tuhan menciptakan rindu hanya untuk mengajarkanku bagaimana mencintaimu dalam semu, mendoakanmu dengan nyanyian-nyanyian syahdu. Tapi, tidakkah kau merasakan sentuhan kerinduanku yang dibawa oleh angin di musim panas padamu, yang dijatuhkan oleh hujan di musim kemarau hanya untukmu dan yang dipersembahkan oleh matahari di musim dingin yang membekukanmu? Semua itu dariku, Sayang. Untukmu, dari dalam sini. Maka, bolehkah aku memintamu untuk berbisik satu kali lagi, dengan kalimat yang berbeda, yaitu "Aku mencintaimu". Dengan begitu, aku akan tidur dengan nyenyak malam ini, dan menyusun masa depan kita dalam mimpi. Indah sekali, bukan? Senyumku tak pernah semanis ini dan suaramu tak pernah semenggoda itu. Menggodaku untuk terus menulis tentangmu, tentang kita. Menggodaku untuk terus tidur, hanya untuk menemuimu. Menggodaku untuk terus mencintaimu dalam semu, dalam seni merindu versiku.
Sayang, tak perlu kau merasa terbebani jika kau tak ingin, aku hanya ingin kau menyempatkan diri untuk mampir ke sini, ke dalam hatiku lagi. Untuk membersihkan rindu-rindu yang telah berjamur, dan melakukan hal-hal menyenangkan di dalam daftar yang telah kutulis setahun yang lalu. Namun, jika kau tak dapat juga ingin, bolehkah aku memaksa dan menjemputmu? Bersama kereta kuda berwarna kesukaanmu, diiringi oleh nyanyian syahdu yang sering kunyanyikan sembari merindumu. Indah sekali, alangkah ruginya jika kau melewatkannya. Karena aku yakin, dia yang memelukmu dengan kedua tangan yang terpasang sarung tinju takkan bisa melakukan apa yang selalu bisa aku lakukan untukmu dengan cinta selembut coklat yang lumer di lidah, dengan cita-cita yang telah kususun dengan logika yang mendominasinya.
Ingat, Sayang. Ini bukan janji, ini adalah ...


Tidak ada komentar:
Posting Komentar