Minggu, 02 Desember 2012

Angin Pujaan Terbang.

Sebelum kumulai tulisan ini, aku berkata dalam hati "Aku mencintaimu." agar jemari bisa dengan tenang menyusun kata yang tak sanggup terbata oleh suara.


Rasanya aku terbang. Tiap kali melihat wajah tampannya. Iya, kaulah yang kumaksud dengan kata tampan. Biar kau besar kepala, aku tidak menyesal, apalagi peduli telah mengatakannya berkali-kali.

Rasanya aku terbang. Saat basa-basi sapa yang kunanti datang begitu segera, adalah balasan dari gerak-gerik mataku yang menyorot senyuman indah itu, nyaris tiap sepuluh detik saat kita berada dalam satu tempat yang sama.

Rasanya aku terbang. Saat kau memperlihatkan puisimu yang mencuri hatiku dalam hitungan detik saja. "Kau adalah ahli kunci!" aku bergeming dalam hati yang sudah lama kukunci karena rusak.

Rasanya aku terbang. Kita habiskan hari-hari dengan sederhana; makan siang dan malam bersama seadanya, menonton televisi sembari beer me, beer you tawa dan bermain gaple hingga tengah malam. Sesederhana itu aku bisa begitu cinta.

Dan akhirnya.
Rasanya aku jatuh.

Rasanya aku lumpuh. Sayapku tak lagi bisa terbang. Tak ada angin di antara kepak sayapku. Tak ada. Sehalus pun hembusan nafasku.

Rasanya aku lumpuh. Sebelah sayapku patah. Bukan. Tidak hanya sebelah sayap, hati pun lebih parah dari patah; pecah.

Rasanya aku tidak ada. Saat kau membawa angin bersyarat; "Bisakah kau membuatku menyesal jika aku kehilanganmu (lagi)?" tawarmu dengan tegas. Dengan keadaan gemetar, "Bisa!" kujawab dengan lantang. Tapi kenyataannya, ketabahanku menanti angin pujaan terbang meretas kecemasan. Alangkah tragis, aku yang mencintaimu dengan sepenuh hati dan kau mencoba mencintaiku dengan begitu hati-hati; berbekal niat ingin pergi meninggalkanku (lagi).

Akhirnya.
Rasanya aku butuh suntik mati. Biar cinta ini kukubur sendiri. Sebab, aku tak bisa berjuang sendiri dengan sebelah sayap yang patah dan hati yang pecah.

2 komentar:

Coldplay - The scientist

 

Blog Template by YummyLolly.com