Rabu, 03 Oktober 2012

Jarum jam

Kau menyebutnya pagi dini hari dan aku sibuk berteriak dalam hati, itu adalah benci yang terlalu dini. Kau menyebutnya malam dan aku sibuk berteriak dalam malam, itu adalah kelam. Jarum jam. Lebih menyakitkan dari rindu yang menusuk tulang, terbang bersama asap putih, mengendap dalam ampas kopi. Aku mulai muak dengan detakmu, yang terus berputar, yang tak kunjung sampai pada waktu yang akan membawa pesan sebagai pelukan. Aku ingin tidur dan tidak memimpikan apapun, termasuk si pemilik rindu. Aku ingin tidur dan tidak mencemaskan kepergiannya yang meninggalkan air mata yang berubah menjadi telaga kenangan. Kecurigaanku, ada yang menukar kebebasan dengan kekangan, keheningan dengan kebisingan, dan kenangan tetap dengan kedalamannya.

"Kau bersabar, maka kita akan berdamai."
"Dalam kasih, aku telah diciptakan sepaket dengan ketabahan."
"Coba pikirkan kembali. Apakah pantas, kau yang tak pandai berenang, nekat menyelami telaga hanya untuk memunguti apa yang tidak berguna sama sekali?"
"Pantas atau tidaknya, waktu yang punya jawabannya dan kau adalah perantaranya."


Aku terdiam dan makin dalam tenggelam. Jarum jam. Aku hanya ingin menyeberangi telaga kenangan, untuk merebahkan tubuhku di bawah pohon di seberang sana. Pohon itu adalah kita. Aku dan kekasihku, si pemilik rindu yang syahdu. Entah apa namanya. Dedaunan adalah rindu yang mengering, gugur karena kelelahan. Buah adalah manis ketabahan. Jarum jam, tidakkah kau ingin menolongku, menyelamatkanku dari duka-luka?


Doa; "Kekasih, hiduplah sekali lagi. Menjadi bara api, yang akan membakar habis dukaku selama ini."

Jarum jam, padaku; "Saat senja, berdoalah. Saat fajar, sebelum pagi-kesiangan, sesaplah secangkir kopi dan berdoalah sekali lagi. Ulangi setiap hari yang dibumbui bau sengat rindu yang tak lagi wangi, bagimu."

3 komentar:

Coldplay - The scientist

 

Blog Template by YummyLolly.com