Selasa, 24 April 2012

Nama

Rasuk hati, memanggil apa yang pernah bermaksud ketika itu, ketika aku berpura-pura tidak tahu, ketika lensa mataku tak fokus melihatmu. Sekarang, apa kabar, itu? Itu adalah apa, mengapa, kapan, dan bagaimana ia tumbuh tanpa kutahu kapan kau menanamnya pada tanah dalam pot, di pinggiran jendela kamarku. Curiga, saat aku tidur, kau mengendap-endap masuk, menebar benih, sedang aku sibuk memimpikanmu. Curiga, kau bertamu dan meninggalkannya dalam cangkir kopi. Biarlah angin yang membawa arah, kemana tujuan sebenarnya.

Elok, lembut serupa awan, senyum yang menawan, sepeninggal kau berjalan menjauh dari pagar. Hanya punggung yang melambai-lambai, seperti "Kiss bye", mustahil, tapi itulah kesan yang tertinggal. Sebentar, aku sedikit bingung dengan kesan yang aku sebutkan, tadi, sejak kapan? Sedangkan menyapa pun pernah-tidak pernah secara langsung, bagaimana bisa mampir, datang bertamu dan meninggalkan kesan? Itulah ajaibnya, kau.

Nirwana, tempat kebebasan dan kesempurnaan, dimana ketentraman yang hakiki ada di sana, apakah kau ada disana? Sebelum kau menjawab itu, aku sudah lebih dulu tahu, karena nirwana bukan hanya ada disitu, kau memilikinya, jika kau tahu, namamu, ada disini.

Dalamnya samudera, sedalam itukah kau menyembunyikan kisah? Aku yang tidak bisa berenang dalam air, apalah daya jika aku dilepas ke hamparan luas samudera yang kau punya? Memahamimu seperti menyatukan warna yang sama pada tiap sisi rubik, mencari jalan keluar dalam labirin, mencari obat dari penyakit yang aku derita saat ini, ialah kau menari-nari dalam kepala.

Yang terjadi, sebelum aku menentukan apa yang akan aku tulis di akhir ini, ada obrolan nyaman, lagi, yang menjawab semua pertanyaan tadi, di sini. Kali ini berhasil buatku menangis, merenung, menyadari bahwa masih banyak hal yang perlu aku kejar, dan kau salah satunya. Semoga, kisahmu tak sedalam itu, sulitnya memahamimu tak sesulit rubik, tapi jika aku harus tersesat dalam labirin, tak apa, selagi itu dalam hatimu. Jangan pernah bosan memberiku kewajaran, senyum sebenarnya, dan tetaplah menari dalam kepala.

Rabu, 18 April 2012

Seperti bernafas dalam air

Sembari menunggu fajar datang, dimana waktu, kuberikan senyum pertamaku hanya untuk Tuhanku. Kuhabiskan waktu dengan mencari diksi-diksi baru, kususun rapi, kucerna sedemikian berarti, sebelum waktunya, kupersembahkan padamu. Karena beberapa hal, aku mulai mengurangi konsumsiku akan kopi, rokok, dan kadar kerinduanku, padamu. Tapi, sama sulitnya, bahkan jauh lebih sulit dari perkiraan kasarku. Kau jauh lebih dahsyat, candu dari semua candu. Bagai malam, dimana angin berlomba menusuk tulang, dingin membekukan rindu, mengeluarkan uap panas bara, berkedok uap cuaca dingin. Ceritanya, seperti musim dingin di luar negeri.

*

Ternyata, membenci setelah merindu itu jauh lebih menyiksa, dibanding mengatasi rindu itu sendiri. Kau tahu kenapa? Kau lah jawabannya. Jawaban dari segala hal yang menyenangkan, sekaligus menyedihkan. Terlalu sulit, si bodoh yang berpura-pura menjadi naif, jika bertahan hanya untuk menyukai seseorang, sedangkan kata membenci sudah lebih dahulu kau berikan. Seperti kotoran yang kau lemparkan di muka, malu dan memalukan. Aku pontang-panting dan kelelahan. Jika pantas, bagi seorang perempuan untuk tiduran di selasar kelas-kelas kebencian, aku pun tidak ingin, ada dan berada dalam wilayah kebencianmu atau kebencian padamu.

Jika hujan adalah kesedihan akan kerinduan, hujan belati adalah kebencian yang sedang kau tuangkan, berlangsung. Bisakah kau membayangkan betapa banyak tusukan di tubuhku?

*

Salahku, menyamakan kisah kita dengan beberapa kisah cinta dalam cerita drama korea, yang berakhir dengan kebahagiaan atau yang terpisah hanya karena kematian, kasihan sekali, bukan? Namanya juga impian yang diwakilkan, ayolah diaminkan.

*

Yang ditinggal, tidak akan pernah hilang. Yang menunggu, tidak akan pernah tenang. Sudah hukumnya, menyukai, membenci adalah kesakitan, kebahagiaan tertunda, lama atau pun sebentar, sementara atau selamanya, adalah sebuah kemustahilan. Kemustahilan adalah kosong, kosong adalah keseimbangan, keseimbangan adalah kita.


*

Bersama sepasang sepatu belel, kutemukan kesetiaan. Bersama sepasang tanganmu, kutemukan madu dan racun, yang sewaktu-waktu akan membunuhku atau bahkan memaniskan hidupku. Lagi-lagi sebuah perkiraan, serupa ramalan peramal ulung. Kesalahan keduaku adalah mengetahuimu dari ramalan zodiak mingguan, menerka-nerka bagaimana perasaanmu, sebelum akhir pekan datang. Karena aku tak punya keberanian untuk bertanya "Bagaimana perasaanmu hari ini? Apa rencanamu sabtu malam ini?" atau yang lebih bukan aku adalah "Apakah kau merindukanku?", dimana ketakutanku setelahnya adalah tidak.

*

Aku dibangunkan sebelum tidur, aku kehilangan sebelum memiliki, dan aku disuguhi benci, sedangkan aku sibuk merapikan benih-benih cinta yang jatuh ke dalam hati.

Tiga

Gerak hati, perlahan melangkah pergi, menjauh dari senja yang selalu melukai; Dimana senja, tempat kenangan berdiam dengan rapi.
*
Dipanggung ini, aku adalah penyampai monodi, dalam monodrama, depan cermin.
*
Jika aku, tak bisa menjadi tanda, dalam hati, dari seorang laki-laki bersenyum sabit, habislah malamku.
*
Air matamu, adalah manik-manik, kalung dileherku.
*
Seikat rindu dalam vas, layu, kemudian kering.
*
Kecendrungan, kecanduan, dihujani kerinduan, kehujanan.
*
Sayap-sayapku, saat terbang, mengepak angin pembawa rindu; Diam-diam kucuri, satu per satu.
Wahai Tuan, bersediakah, kukalungkan pengabdian, atas nama pencipta semesta alam.
*
Benih-benih kerinduan, yang kauselipkan dibawah bantal, menetas, meretas mimpi-mimpi, kemustahilan.
*
Aku, tanpa kau dan secangkir kopi; Bagai pelangi kehilangan satu warna inti.
*
Kau, adalah nirwana, dimana bidadari, sungai susu, dan ketentraman berdiam disitu.
*
Dihatimu, kutitipkan separuh diriku; Bukan kau, melainkan Tuhan yang akan mengembalikannya padaku.
*
Jangan terlambat, sebelum aku membiru, tertimbun rindu.
*
Sayang, tahukah kau bahwa hati ini sehangat segelas cokelat panas? Ciciplah, sedikit saja; Kau akan jatuh cinta.
*
Pagi ini, kupanggang seloyang pai isi kenangan, diatas bara kerinduan.
*
Seandainya aku bisa memilih, Bidadara manakah yang akan menemaniku nanti; Bukan kau, yang tak pernah menyudahi rinduku, dibumi.
*
Semenjak kau berdiam dalam pikiran, tak pernah lagi ada istilah "Bergadang tiada artinya".
*
Basa-basi, bukan salah satu kepandaianku, dimana salahku adalah membiarkan hening diantara jarak duduk, dan satu adalah paduan yang tersangkut dikerongkongan.
*
Kau dan senyuman, memperlengah kemungkinan kegetiran; Manisku, saat kusesap secangkir kopi pahit.
*
Kau adalah rubik, kau adalah labirin.
*
Jika tiap petikan gitar adalah cinta, begitu pula sajak.

Selasa, 10 April 2012

-

Sudah dua malam, kau merumahkan sebagian hal yang tak ingin kupulangkan
Bagaimana bisa aku memetakan, meletakkan?
Kau menebar serbuk kekalahan disepanjang perjuangan
Kau yang sedang memancing ikan, duduk dipangkuan bulan


Sepasang rusa, berlarian, dipadang rumput hijau, yang manis
Mesra, mereka saling menggamak cinta
Seperti kita, 
Sebelum kau menutup bukumu, untuk kubaca


"Betapa, hanya dengan sebuah senyum
Hangat serupa matahari pagi, meresap
Melewatkan fajar yang dingin, serama belaian angin"
Masihkah, senyumku seperti itu bagimu?

Sabtu, 07 April 2012

Tanpa kau, tak ada tulisan

Angin malam melambaikan tangan, mengajakku untuk pulang
Di hatimukah aku pulang?
Berdiam, meresapi apa yang pernah menjadi luka
Di dadamukah aku merebahkan kesepian?

Jari-jari yang di nodai tinta hitam, saksi
Begitu banyak tinta, kugoreskan, coretan
Yang tak pernah sia-sia
Kau, adalah tinta yang sebenarnya

Ini bukan tentang aku atau kau, tapi kita
Bukan hanya dalam sebuah tulisan penuh dengan tinta hitam
Seberapa banyak waktu dan celah kosong dalam kertas?
Dalam hening aku terus bertanya, apakah kau adalah jawaban?

Sampai akhirnya embun menyudahi malam
Aku mulai meraut pensil, berharap ada cerita baru yang akan aku tuliskan
Sesederhana menulis namamu, menggunakan pensil di kertas kosong, berulang
Hingga tampak cantik, dan itu adalah kau

Sebuah Tanya (Puisi Soe Hok Gie)

Akirnya semua akan tiba
Pada suatu hari yang biasa
Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
Apakah kau masih berbicara selembut dahulu?
Memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
Sambil membenarkan letak leher kemejaku?

Kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah mendala wangi kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram meresapi belaian angin yang menjadi dingin

Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
Ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat

Lampu-lampu berkelipan di Jakarta yang sepi, kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya. Kau dan aku berbicara. Tanpa kata, tanpa suara ketika malam yang basah menyelimuti Jakarta kita

Apakah kau masih akan berkata, kudengar derap jantungmu. Kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta?

Haripun menjadi malam, kulihat semuanya menjadi muram. Wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti. Seperti kabut pagi itu

Manisku, aku akan jalan terus
Membawa kenangan-kenagan dan harapan-harapan
Bersama hidup yang begitu biru


Selasa, 1 April 1969

Coldplay - The scientist

 

Blog Template by YummyLolly.com