Sembari menunggu fajar datang, dimana waktu, kuberikan senyum pertamaku hanya untuk Tuhanku. Kuhabiskan waktu dengan mencari diksi-diksi baru, kususun rapi, kucerna sedemikian berarti, sebelum waktunya, kupersembahkan padamu. Karena beberapa hal, aku mulai mengurangi konsumsiku akan kopi, rokok, dan kadar kerinduanku, padamu. Tapi, sama sulitnya, bahkan jauh lebih sulit dari perkiraan kasarku. Kau jauh lebih dahsyat, candu dari semua candu. Bagai malam, dimana angin berlomba menusuk tulang, dingin membekukan rindu, mengeluarkan uap panas bara, berkedok uap cuaca dingin. Ceritanya, seperti musim dingin di luar negeri.
*
Ternyata, membenci setelah merindu itu jauh lebih menyiksa, dibanding mengatasi rindu itu sendiri. Kau tahu kenapa? Kau lah jawabannya. Jawaban dari segala hal yang menyenangkan, sekaligus menyedihkan. Terlalu sulit, si bodoh yang berpura-pura menjadi naif, jika bertahan hanya untuk menyukai seseorang, sedangkan kata membenci sudah lebih dahulu kau berikan. Seperti kotoran yang kau lemparkan di muka, malu dan memalukan. Aku pontang-panting dan kelelahan. Jika pantas, bagi seorang perempuan untuk tiduran di selasar kelas-kelas kebencian, aku pun tidak ingin, ada dan berada dalam wilayah kebencianmu atau kebencian padamu.
Jika hujan adalah kesedihan akan kerinduan, hujan belati adalah kebencian yang sedang kau tuangkan, berlangsung. Bisakah kau membayangkan betapa banyak tusukan di tubuhku?
*
Salahku, menyamakan kisah kita dengan beberapa kisah cinta dalam cerita drama korea, yang berakhir dengan kebahagiaan atau yang terpisah hanya karena kematian, kasihan sekali, bukan? Namanya juga impian yang diwakilkan, ayolah diaminkan.
*
Yang ditinggal, tidak akan pernah hilang. Yang menunggu, tidak akan pernah tenang. Sudah hukumnya, menyukai, membenci adalah kesakitan, kebahagiaan tertunda, lama atau pun sebentar, sementara atau selamanya, adalah sebuah kemustahilan. Kemustahilan adalah kosong, kosong adalah keseimbangan, keseimbangan adalah kita.
*
Bersama sepasang sepatu belel, kutemukan kesetiaan. Bersama sepasang tanganmu, kutemukan madu dan racun, yang sewaktu-waktu akan membunuhku atau bahkan memaniskan hidupku. Lagi-lagi sebuah perkiraan, serupa ramalan peramal ulung. Kesalahan keduaku adalah mengetahuimu dari ramalan zodiak mingguan, menerka-nerka bagaimana perasaanmu, sebelum akhir pekan datang. Karena aku tak punya keberanian untuk bertanya "Bagaimana perasaanmu hari ini? Apa rencanamu sabtu malam ini?" atau yang lebih bukan aku adalah "Apakah kau merindukanku?", dimana ketakutanku setelahnya adalah tidak.
*
Aku dibangunkan sebelum tidur, aku kehilangan sebelum memiliki, dan aku disuguhi benci, sedangkan aku sibuk merapikan benih-benih cinta yang jatuh ke dalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar