Kamis, 28 Juni 2012

Kasih, ada yang ingin kusampaikan padamu


Kasih, ada yang ingin aku sampaikan, padamu.
Kau sedekat nadi. Kau seindah kupu-kupu. Kau sesantun sebuah pagi. Kau, yang sedang menghitung debar-debar rindu. 

Kita pernah bersama. Kepadamu, kubebaskan rahasia satu per satu. Kepadamu, kusetiakan harapan yang tertoreh dalam basah air mata kita, saat itu. Kepadamu, Kuberitahu segala candu akan kamu. Iya, kamu, maha candu atas segala candu yang pernah kucicip saat merindumu.

Kita pernah berduka. KepadaNya, kulemaskan lutut, bersujud. KepadaNya, aku mengemis kebebasan yang pernah kubebaskan padamu. KepadaNya, aku menghamba sanda akhirat, dunia, dan cinta.

Tak lagi kita, dan aku yang pernah kehilangan, di bawah jembatan penyebrangan menuju pulau harapan. Tak lagi kepadamu, kepadaNya. Kepada nadi, kepada debar-debar rindu, kepada kupu-kupu, kepada pagi, kupersembahkan sebuah demi, yang akan menghanguskan semua sepi.

Kasih, ada yang ingin aku sampaikan, padamu.
Kau tak lagi sedekat nadi. Kau tak lagi seindah kupu-kupu. Tak lagi sesantun pagi. Kau, takkan pernah lagi menghitung debar-debar rindu ini.

Rabu, 27 Juni 2012

Fiksi bertajuk true story

"Seharusnya aku sadar, saat kau mengaku bahwa kau adalah kenangan. Seharusnya!", teriakku dalam hati. Aku sudah kelelahan, berusaha melupakanmu tiap kali bangun, pertama kali membuka mata, berusaha meniadakan segala dalam alam bawah sadar, saat tidur. Sudah terlalu banyak, terlalu dalam lubang yang kubuat sendiri, dengan luka-duka mengingat, sengaja atau tidak. Tadinya, mungkin dengan aku memaafkan, aku bisa melupakan dengan sendirinya, dengan salah satu cara "Aku sudah memaafkan", berulang-ulang sebelum dan sesudah kuhabiskan waktu luangku. Tapi nyatanya, menambah barisan kesia-siaan, lagi. Aku sudah bosan, aku sudah kehabisan cara, menangis pun tak lagi bisa. Sedangkan, dengan begitu aku bisa tidur dengan ketiduran, bukan kesengajaan, dan itu sangat menyenangkan, meski terkadang wajah-wajah dari kenangan datang, sekelibat. Tak masalah, meski tidak juga kebenarannya.

Di dalam kepala ini, seperti ada yang berlari-lari kecil, lari di tempat, dan lompat sesekali. Tapi siapa? Apa? Haruskah aku bertanya pada rambut-rambut yang melambai saat ditiup angin? Meraka pun tidak tahu. Lantas, aku harus bertanya pada siapa, pada Tuhan? Ia pun hanya diam, dan aku mulai geram. Geram, karena ini tak lagi menjadi sebuah lelucon, ini adalah sebuah omong kosong, kataku membohongi kalian semua yang membaca tulisan ini. "Hahahahaa..", tawa kecil dalam hati menyadari kekonyolan diri sendiri, curiga jiwa ini tak lagi imbang, dan menjadi bimbang. Masih waraskah aku? Waras, selama aku bisa membedakan mana yang dinamakan memaafkan dan melupakan, lagi dan lagi kembali pada topik awal, tanpa sengaja, meski disengajakan. Sudahlah, ikuti saja kemana jari-jari ini menjatuhkan dirinya pada tombol-tombol abjad, menyusun kata demi kata, duka demi duka, kenangan demi sebuah kesenangan. Kesenangan yang mana? Di mana masa lalu aku pernah mengecap pahit, manis, atau apalah itu.

Akhirnya, tak ada lagi yang berdenyut dalam kepala, dan sekarang berpindah ke dalam dada, buah dada? Bukan, yang kumaksud adalah gumpalan darah sebesar kepalan tangan, menurut sebuah teori kesehatan, katanya. Hati namanya, hati mana yang bisa berpikir? Itulah bedanya, yang membedakannya dengan kita, kulirik kepala. Jangan dipraktekkan, ini hanyalah omong kosong, sedikit hiburan, bualan. Cara kecil untuk menghibur kebimbangan, yang dirasa seperti berada dalam kapal kecil terombang-ambing di lautan lepas, lautan kenangan, namanya. Kenangan, lagi? Beri aku kata ganti sementara, hanya dalam tulisan ini saja. Jika tidak, kulanjutkan, berulang kusebut "Kenangan", dengan lantang. Jangan bosan, ini belum seberapa, belum apa-apa, apalagi luar biasa. Ini cerita fiksi, bertajuk true story.

Baiklah, harus kumulai dari mana ceritanya? Dari tadi? Atau dari hati? Seperti sebuah judul lagu, yang menghantarkan beberapa orang menuju tidur, aku tidak termasuk karena penghantar tidurku itu adalah kenangan yang kusebut tadi. Menghayalkan, duduk berdua di bawah pohon rimbun, sembari menghitung domba lewat, berbaris, bukan bergaris. Sebab domba itu berbulu, tak seperti zebra yang bergaris hitam dan putih. Teringat, aku diumpamakan sebagai warna putih dan kenangan sebagai warna hitam, aku kalah gelap, aku kalah pekat. Itulah permasalahannya, jika aku yang lebih banyak, jadilah keragu-raguan, abu-abu. Tak hitam, tak juga putih, abu-abu. Di mana kejelasanku? Kejelasanku adalah putih, dan kenangan adalah hitam, itu sudah jelas, jelas aku sudah kalah. Seandainya, putih adalah gula, dan hitam adalah kopi, alangkah serasinya.

Sekarang, belum waktunya aku tidur tapi aku sudah mulai berandai-andai. Terlalu cepat, terlalu dan makin dalam lah lubang, menganga. Jangan sampai ada yang berpikiran untuk meneteskan air jeruk di atasnya, aku menyerah. Bukan karena perihnya, tapi alangkah teganya. "Sungguh teganya, teganya, teganya.." lirik lagu yang cukup mewakilkan. Aku lupa sampai mana, dan sekarang aku harus melakukan apa? Melanjutkan cerita atau menghitung domba? Sembari menunggu jawabannya, kuseduh sesendok bubuk kopi hitam dengan air panas ketabahan ini, ketabahan menanti kenangan yang siap kusulam kembali. Dan nanti, aku ingin menyulam sebuah baju hangat yang sewaktu-waktu akan menghangatkan rindu yang nyaris membuatku mati beku. Berlebihan, tidak sampai mati, cukup mati suri, hidup lagi dan berharap lupa bahwa aku tak punya kenangan yang kunanti selama ini. Menanti merpati yang tak menepati janji, menunggu kupu-kupu yang hanya datang untuk menghisap intisari. Fiuuuh, barisan kesia-siaanku bertambah lagi.

Baiklah, sebuah cara baru untuk melupakan bahwa aku telah memaafkan, menghapus barisan kesia-siaan, aku menutupi lubang yang kusebut beberapa kali dalam paragraf-paragraf di atas, dengan kuputar lagu Efek rumah kaca - Lagu kesepian. Ingin menutupi atau menambah lubang lagi, di sebelah kanan-kiri. Tidak usah khawatir, aku hanya ingin memancing para katak untuk ikut melantunkan nyanyian persembahan, permohonan atas diturunkannya hujan. Hujan gerimis tipis dari sisi jendela, atau di ujung mata.

Senin, 25 Juni 2012

Dua pasang tangan, kita

Tangan kananmu membawa harum melati,
tangan kirimu membawa terang yang pernah kau janjikan
Dulu, saat kita berjalan di bawah rintik hujan tahun lalu
Apakah aku sedang bermimpi?

"Tidak, Sayang", bisikmu pelan-pelan di telinga kananku.  Jika aku sedang bermimpi, jangan biarkan apapun yang akan membuatku bangun. Pertanyaan apa lagi yang akan aku lontarkan, aku ketagihan, mendengar suaranya yang lembut, pelan-pelan.

Kau mengendap-ngendap mendekatiku, sepertinya aku tahu
Kau penasaran, apa yang ada di tangan kanan dan kiriku
Tangan kananku membawa botol kosong,
tangan kiriku membawa botol kosong

"Untuk apa botol-botol kosong itu?", tanyamu penuh penasaran dan tak lagi pelan. Aku hanya tersenyum, sembari memindahkan harum melati dan terang ke masing-masing botol kosong yang kubawa, dan tak lupa kututup keduanya.

Kelak, saat kita telah berjauhan
Dan waktu adalah satu-satunya yang akan mempertemukan
Botol-botol inilah yang akan menemaniku, sembari merindumu
Saat gelap merangkulku dari segala penjuru, saat bau kecurigaan yang meracuni pikiranku

Minggu, 24 Juni 2012

"Ini puisi", kataku.


"Kau adalah terik, jadikan uap ke titik air
Melekat awan terbawa angin, terjatuh lunglai menyisa hening
Aku adalah kunang-kunang, sinar dingin kerinduanmu yang menjadi inti
Lantas, janganlah kaututupi tubuhmu dengan sehelai sepi, sekalipun

Kau adalah aksara, jadikan indah sajak sang penyair
Memecah hening terekam oleh malam, tergumpal rindu dibalut kenangan
Aku adalah buku, menghapus dukamu dengan tinta kegetiranmu
Menghentikan gerimis tipis yang jatuh dari ujung matamu.."

Kita yang jatuh cinta saat senja, maaf kuralat, bukan kita melainkan aku sendiri. Tak sedih, sebab aku bisa membuatmu jatuh cinta sekali lagi dan ini yang terakhir kali. Aku yang mengada-ada bahwa puisiku adalah tentang kita, adalah usaha kecilku untuk menghibur resahku akan kehilanganmu. Kehilangan? bahkan aku belum pernah memilikimu seujung kuku. Tak mengapa, sebab cinta tak berarti miliki, meski aku tak pernah setuju dengan pernyataan itu. Kau yang dimiliki tuhan dan secangkir kopi hitam pahitmu, itulah duniamu. Tak ada aku, aku tak ada bagimu. Sebaliknya, sebelum aku mengenalmu, tiap butir abu dan ampas kopi yang telah tandas dalam cangkir kopi adalah kesia-siaan, sekarang tak lagi sia-sia, tak lagi pahit jika kunikmati dengan merindumu, mengandai-andai luas, terlepas dari kemustahilanku memilikimu.

Jika ini adalah kesalahan, katakan apa yang menurutmu itu sebuah kebenaran. Jika ini adalah ketidakwajaran, katakan apa yang harus aku lakukan sehingga aku menjadi biasa, terlebih indah menjadi luar biasa, bukan di luar ketidakwajaran yang tak kau suka. Namun jangan pernah kau katakan, bahwa kebenaran dan kewajaran itu adalah ketiadaan.

Adalah kebohongan jika aku berkata "Kerelaanku, serupa ranting yang merelakan daun jatuh berguguran. Serupa sinar dingin yang memberikan cahayanya, cuma-cuma pada kunang-kunang." Aku tak setulus itu, sebab aku meyakini bahwa aku bisa membuatmu lebih berharga dari daun-daun gugur, lebih terang dari cahaya kunang-kunang, dengan menjadi jawaban dari tiap tanda tanya yang mengganggu pikiranmu, butir-butir darah yang ada dalam tubuhmu, tetes air mata kelegaanmu, dan pita suara yang akan menyampaikan tawa bahagiamu, segala, segala-galanya yang kau butuh, yang tak kau sebutkan satu per satu. Aku baik dan aku sanggup menjadi semua itu.

Sebab, saat kau menjadi murung, aku menjadi lumpuh. Saat kau menjadi bahagia, dan aku menjadi makhluk paling beruntung yang melihat sebuah senyuman manis itu. Dan aku menyadari, bahwa aku adalah kau meski tak sebaliknya untukku. Semoga kau membalas puisiku dengan,

"Seburuk-buruknya cinta adalah kerelaanmu untuk tidur berhari-hari hanya untuk menemuiku dalam mimpi, melepas segala keinginanmu untuk miliki senyumanku, memelukku saat deras hujan membasahiku, membasuh basah air mataku dengan sapu tanganmu."



*Puisi dan tulisan ini, terinspirasi dan ditulis ulang, dari sajak seorang teman "Kau adalah terik, jadikan uap ke titik air. Melekat awan terbawa angin, terjatuh lunglai menyisa hening" ~ Budiawan Jb

Sabtu, 23 Juni 2012

Seperti apakah harapan, diibaratkan?

Aku masih tenang, di sini
Hingga kemerahan setengah tenggelam
menunggu ombak membawamu pulang berkelana,
mengarungi lautan yang kau sebut harapan


Serupa induk penyu yang melipir ke pesisir pantai
Membawa ratusan butir telur, yang ia sebut harapan 
Harapannya, tukik akan mengenalinya sebagai induknya
Bukan hangat pasir pantai yang mengeram mereka


Sudah lebih dari tiga jam,
kurebahkan tubuh mungilku di atas pasir pantai, yang kusebut harapan
sembari tersenyum, sesekali pada langit yang mulai menghitam
ialah mereka, yang akan menyampaikannya saat aku tak lagi terjaga


Air laut makin pasang, menyentuh telapak kaki, sesekali
Angin laut makin dingin, menusuk tulang sendi, sesekali
Dan aku masih tenang, di sini
Menggigil, menahan rindu yang tak pernah henti

Jumat, 22 Juni 2012

Ini bukan sajak; adalah hal-hal yang tak selesai

Rasa ini sungguh tak lazim, menzalimi diri sendiri, membahagiakan yang tak paham arti.

Jangan pernah lagi datang, meski hanya sekelibat dalam mimpi, sedetik dalam dekapan.

Mimpi adalah kota kita, di mana aku bisa menata kita; hati dan masa depan bersama.

Kau yang hadir dalam bunga tidurku, memecah ketenangan alam bawah sadarku. Sakitnya, lebih indah dari semua itu.

Seandainya, kenangan sesederhana foto dalam dompet.

Semenjak kita tak lagi seranjang, tak ada yang lebih pagi dari embun di ujung dedaunan.

Telah kubawa pulang, purnama. Bukan bulan, melainkan binar mata, yang menenangkan duka.

Saat kerinduan tak lagi memecah keheningan, pertanda bahwa ketiadaan telah biasa.

Saat kesedihan jauh lebih dalam dibanding ketabahan, sudah saatnya kaburkan, kuburkan!

Saat kewajaranku telah lelah, sudah saatnya kesengajaanku bermula.

Adalah benar, keputusanku untuk bersikap seperti itu; berpura-pura tak mencintaimu.

Hujan, samarkanlah basah mataku.

Kemerahan setengah tenggelam, gelap mendekap bulan perlahan. Kuning gading, maukah kau memeluk rinduku yang mulai menghitam?


Kekasihku, jangan terlambat, telah kutitipkan rindu berlilit pita merah jambu pada cahaya kuning gading, esok pagi.



Aku tenang, mendengar denyut hujan, mengkhayalkan ada sepasang tangan yang berputar mengelilingiku, memelukku dari segala penjuru.



Jika dekat hanya sekadar dekat, apalah guna kabar yang kuibaratkan sebuah pelukan?



Jika kau tak paham atas sajak-sajakku, pejamkan matamu, ciumanku akan menerjemahkannya padamu.



Aku ingin menjadi bunga daisy untukmu, nyatanya, aku bagimu adalah bunga tulip hitam yang hampir layu.



Biar kukunyah duka yang tak lagi sanggup kautelan sendiri, sebab dengan cinta, dapat kutelan mentah-mentah.



Merokok dapat menyebabkan nyeri dada, tak lebih nyeri dari menahan rindu; sebab abu adalah kesia-siaan.



Perempuan penyuka kopi, menjatuhkan kenangan di atas cangkir kopi



Telah kutitipkan rindu pada senja, esok, jika kau sempat, sapalah ia sejenak saja.



Seandainya jatuh cinta bisa dikendalikan, mungkin cuma lecet dan sakit sekadarnya.



Tidur adalah cara kecil untuk melupakanmu, sejenak, tak berhasil dan kau datang, menyelam dalam mimpi tidurku.



Aku ingin pulang, bersama daun gugur yang kau jatuhkan. Aku akan kembali datang, bersama musim semi yang selalu kaunantikan.



Entah aku yang terlalu sibuk merindukanmu atau kau yang terlalu dalam meletakkanku dalam hatimu?



Tak banyak harapan yang kutitipkan pada balon-balon yang akan kuterbangkan, cukuplah untuk memancing hujan semalam.



Jika rokok dan kopi adalah takdir yang ada untuk merusak jantungku, maka malam dan setumpuk kenangan yang kautinggalkan adalah kefanaan.



"Berapa lapis? Ratusan." adalah mewakili perhitungan kasar atas rindu yang tak pernah kuhitung dengan sabar.



Sehidup, semati; kukunyah renyah rindu ini, enyahlah kita, setelahnya.



Malam selalu pandai mengajarkanku bagaimana cara berdiam, dengan hikmat, mendengar detak-detak kerinduan.

Coldplay - The scientist

 

Blog Template by YummyLolly.com