Penuh, seberapa banyak kau ada, sedangkan lainnya tak pula berbeda. Tiap kali aku menyibukkan diri, tiap kali aku meluangkan hati, kau selalu menyertai di mana dan kapan saja, saat aku dalam keadaan sadar. Sadar benar, benar-benar sadar, kuteguk apapun yang bisa menghilangkanmu, atau paling tidak untuk mengurangi kebanyakanmu. Awalnya berhasil, dan senangnya bukan main. Tapi akhirnya tak berguna, bertambah sedih, saat bisikan bait itu terus berulang, serupa musik latar belakang memecah hening kesakitan.
"Kau adalah belahan jiwa yang tak kasat mata
Kau adalah belahan jiwa yang pertama kali tak kuinginkan ada
Kau adalah siapa
Kau adalah apa.."
Oh, betapa kau, begitu kau. Ada kalanya aku senang, saat kau kutaklukkan hanya dengan sebuah senyuman, dan saat kau membangkang, lututku lemas dengan hitungan detik, buatku berlutut bukan untuk memohon, tidak akan! Tak kuingini, memancing kelesuhan hari-hari ramai menutupi sunyi. Keteduhan pohon rimbun tak lagi mendamaikan panas terik, deras hujan tak lagi samarkan basah mata ini. Jika malam adalah waktumu untuk bersenang-senang, maka biarkanlah aku damai saat kuning gading mencoba memasuki tubuhku, melalui celah rongga dadaku. Nyatanya salah, tak ada kata istirahat untukmu bersenang-senang dan untukku merasa damai. Saat kau begitu senang dan gemas, dengan santai kaugigit telinga dan pipiku. Saat kau begitu kesal, dengan dingin kaucengkram mata dan alisku. Semua tanpa bekas. Seperti sekarang ini, bisikan bait itu mengiringi kegirangannya, menari-nari.
"Kau adalah belahan jiwa yang tak kasat mata
Kau adalah belahan jiwa yang pertama kali tak kuinginkan ada
Kau adalah siapa
Kau adalah apa.."


Tidak ada komentar:
Posting Komentar