Minggu, 24 Juni 2012

"Ini puisi", kataku.


"Kau adalah terik, jadikan uap ke titik air
Melekat awan terbawa angin, terjatuh lunglai menyisa hening
Aku adalah kunang-kunang, sinar dingin kerinduanmu yang menjadi inti
Lantas, janganlah kaututupi tubuhmu dengan sehelai sepi, sekalipun

Kau adalah aksara, jadikan indah sajak sang penyair
Memecah hening terekam oleh malam, tergumpal rindu dibalut kenangan
Aku adalah buku, menghapus dukamu dengan tinta kegetiranmu
Menghentikan gerimis tipis yang jatuh dari ujung matamu.."

Kita yang jatuh cinta saat senja, maaf kuralat, bukan kita melainkan aku sendiri. Tak sedih, sebab aku bisa membuatmu jatuh cinta sekali lagi dan ini yang terakhir kali. Aku yang mengada-ada bahwa puisiku adalah tentang kita, adalah usaha kecilku untuk menghibur resahku akan kehilanganmu. Kehilangan? bahkan aku belum pernah memilikimu seujung kuku. Tak mengapa, sebab cinta tak berarti miliki, meski aku tak pernah setuju dengan pernyataan itu. Kau yang dimiliki tuhan dan secangkir kopi hitam pahitmu, itulah duniamu. Tak ada aku, aku tak ada bagimu. Sebaliknya, sebelum aku mengenalmu, tiap butir abu dan ampas kopi yang telah tandas dalam cangkir kopi adalah kesia-siaan, sekarang tak lagi sia-sia, tak lagi pahit jika kunikmati dengan merindumu, mengandai-andai luas, terlepas dari kemustahilanku memilikimu.

Jika ini adalah kesalahan, katakan apa yang menurutmu itu sebuah kebenaran. Jika ini adalah ketidakwajaran, katakan apa yang harus aku lakukan sehingga aku menjadi biasa, terlebih indah menjadi luar biasa, bukan di luar ketidakwajaran yang tak kau suka. Namun jangan pernah kau katakan, bahwa kebenaran dan kewajaran itu adalah ketiadaan.

Adalah kebohongan jika aku berkata "Kerelaanku, serupa ranting yang merelakan daun jatuh berguguran. Serupa sinar dingin yang memberikan cahayanya, cuma-cuma pada kunang-kunang." Aku tak setulus itu, sebab aku meyakini bahwa aku bisa membuatmu lebih berharga dari daun-daun gugur, lebih terang dari cahaya kunang-kunang, dengan menjadi jawaban dari tiap tanda tanya yang mengganggu pikiranmu, butir-butir darah yang ada dalam tubuhmu, tetes air mata kelegaanmu, dan pita suara yang akan menyampaikan tawa bahagiamu, segala, segala-galanya yang kau butuh, yang tak kau sebutkan satu per satu. Aku baik dan aku sanggup menjadi semua itu.

Sebab, saat kau menjadi murung, aku menjadi lumpuh. Saat kau menjadi bahagia, dan aku menjadi makhluk paling beruntung yang melihat sebuah senyuman manis itu. Dan aku menyadari, bahwa aku adalah kau meski tak sebaliknya untukku. Semoga kau membalas puisiku dengan,

"Seburuk-buruknya cinta adalah kerelaanmu untuk tidur berhari-hari hanya untuk menemuiku dalam mimpi, melepas segala keinginanmu untuk miliki senyumanku, memelukku saat deras hujan membasahiku, membasuh basah air mataku dengan sapu tanganmu."



*Puisi dan tulisan ini, terinspirasi dan ditulis ulang, dari sajak seorang teman "Kau adalah terik, jadikan uap ke titik air. Melekat awan terbawa angin, terjatuh lunglai menyisa hening" ~ Budiawan Jb

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Coldplay - The scientist

 

Blog Template by YummyLolly.com