"Seharusnya aku sadar, saat kau mengaku bahwa kau adalah kenangan. Seharusnya!", teriakku dalam hati. Aku sudah kelelahan, berusaha melupakanmu tiap kali bangun, pertama kali membuka mata, berusaha meniadakan segala dalam alam bawah sadar, saat tidur. Sudah terlalu banyak, terlalu dalam lubang yang kubuat sendiri, dengan luka-duka mengingat, sengaja atau tidak. Tadinya, mungkin dengan aku memaafkan, aku bisa melupakan dengan sendirinya, dengan salah satu cara "Aku sudah memaafkan", berulang-ulang sebelum dan sesudah kuhabiskan waktu luangku. Tapi nyatanya, menambah barisan kesia-siaan, lagi. Aku sudah bosan, aku sudah kehabisan cara, menangis pun tak lagi bisa. Sedangkan, dengan begitu aku bisa tidur dengan ketiduran, bukan kesengajaan, dan itu sangat menyenangkan, meski terkadang wajah-wajah dari kenangan datang, sekelibat. Tak masalah, meski tidak juga kebenarannya.
Di dalam kepala ini, seperti ada yang berlari-lari kecil, lari di tempat, dan lompat sesekali. Tapi siapa? Apa? Haruskah aku bertanya pada rambut-rambut yang melambai saat ditiup angin? Meraka pun tidak tahu. Lantas, aku harus bertanya pada siapa, pada Tuhan? Ia pun hanya diam, dan aku mulai geram. Geram, karena ini tak lagi menjadi sebuah lelucon, ini adalah sebuah omong kosong, kataku membohongi kalian semua yang membaca tulisan ini. "Hahahahaa..", tawa kecil dalam hati menyadari kekonyolan diri sendiri, curiga jiwa ini tak lagi imbang, dan menjadi bimbang. Masih waraskah aku? Waras, selama aku bisa membedakan mana yang dinamakan memaafkan dan melupakan, lagi dan lagi kembali pada topik awal, tanpa sengaja, meski disengajakan. Sudahlah, ikuti saja kemana jari-jari ini menjatuhkan dirinya pada tombol-tombol abjad, menyusun kata demi kata, duka demi duka, kenangan demi sebuah kesenangan. Kesenangan yang mana? Di mana masa lalu aku pernah mengecap pahit, manis, atau apalah itu.
Akhirnya, tak ada lagi yang berdenyut dalam kepala, dan sekarang berpindah ke dalam dada, buah dada? Bukan, yang kumaksud adalah gumpalan darah sebesar kepalan tangan, menurut sebuah teori kesehatan, katanya. Hati namanya, hati mana yang bisa berpikir? Itulah bedanya, yang membedakannya dengan kita, kulirik kepala. Jangan dipraktekkan, ini hanyalah omong kosong, sedikit hiburan, bualan. Cara kecil untuk menghibur kebimbangan, yang dirasa seperti berada dalam kapal kecil terombang-ambing di lautan lepas, lautan kenangan, namanya. Kenangan, lagi? Beri aku kata ganti sementara, hanya dalam tulisan ini saja. Jika tidak, kulanjutkan, berulang kusebut "Kenangan", dengan lantang. Jangan bosan, ini belum seberapa, belum apa-apa, apalagi luar biasa. Ini cerita fiksi, bertajuk true story.
Baiklah, harus kumulai dari mana ceritanya? Dari tadi? Atau dari hati? Seperti sebuah judul lagu, yang menghantarkan beberapa orang menuju tidur, aku tidak termasuk karena penghantar tidurku itu adalah kenangan yang kusebut tadi. Menghayalkan, duduk berdua di bawah pohon rimbun, sembari menghitung domba lewat, berbaris, bukan bergaris. Sebab domba itu berbulu, tak seperti zebra yang bergaris hitam dan putih. Teringat, aku diumpamakan sebagai warna putih dan kenangan sebagai warna hitam, aku kalah gelap, aku kalah pekat. Itulah permasalahannya, jika aku yang lebih banyak, jadilah keragu-raguan, abu-abu. Tak hitam, tak juga putih, abu-abu. Di mana kejelasanku? Kejelasanku adalah putih, dan kenangan adalah hitam, itu sudah jelas, jelas aku sudah kalah. Seandainya, putih adalah gula, dan hitam adalah kopi, alangkah serasinya.
Sekarang, belum waktunya aku tidur tapi aku sudah mulai berandai-andai. Terlalu cepat, terlalu dan makin dalam lah lubang, menganga. Jangan sampai ada yang berpikiran untuk meneteskan air jeruk di atasnya, aku menyerah. Bukan karena perihnya, tapi alangkah teganya. "Sungguh teganya, teganya, teganya.." lirik lagu yang cukup mewakilkan. Aku lupa sampai mana, dan sekarang aku harus melakukan apa? Melanjutkan cerita atau menghitung domba? Sembari menunggu jawabannya, kuseduh sesendok bubuk kopi hitam dengan air panas ketabahan ini, ketabahan menanti kenangan yang siap kusulam kembali. Dan nanti, aku ingin menyulam sebuah baju hangat yang sewaktu-waktu akan menghangatkan rindu yang nyaris membuatku mati beku. Berlebihan, tidak sampai mati, cukup mati suri, hidup lagi dan berharap lupa bahwa aku tak punya kenangan yang kunanti selama ini. Menanti merpati yang tak menepati janji, menunggu kupu-kupu yang hanya datang untuk menghisap intisari. Fiuuuh, barisan kesia-siaanku bertambah lagi.
Baiklah, sebuah cara baru untuk melupakan bahwa aku telah memaafkan, menghapus barisan kesia-siaan, aku menutupi lubang yang kusebut beberapa kali dalam paragraf-paragraf di atas, dengan kuputar lagu Efek rumah kaca - Lagu kesepian. Ingin menutupi atau menambah lubang lagi, di sebelah kanan-kiri. Tidak usah khawatir, aku hanya ingin memancing para katak untuk ikut melantunkan nyanyian persembahan, permohonan atas diturunkannya hujan. Hujan gerimis tipis dari sisi jendela, atau di ujung mata.
tak ingin ada yang mengetahui
BalasHapusJangan, nanti galau lagi xD
BalasHapus