Selasa, 04 Desember 2012

Sebuah Tanya

akhirnya semua akan tiba
pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
apakah kau masih berbicara selembut dahulu?
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku
kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah mendala wangi
kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin
apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat
lampu-lampu berkelipan di jakarta yang sepi, kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya. kau dan aku berbicara. tanpa kata, tanpa suara ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita
apakah kau masih akan berkata, kudengar derap jantungmu. kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta?
haripun menjadi malam, kulihat semuanya menjadi muram. wajah2 yang tidak kita kenal berbicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti. seperti kabut pagi itu
manisku, aku akan jalan terus
membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang begitu biru


Soe Hok Gie
Selasa, 1 April 1969

Minggu, 02 Desember 2012

Angin Pujaan Terbang.

Sebelum kumulai tulisan ini, aku berkata dalam hati "Aku mencintaimu." agar jemari bisa dengan tenang menyusun kata yang tak sanggup terbata oleh suara.


Rasanya aku terbang. Tiap kali melihat wajah tampannya. Iya, kaulah yang kumaksud dengan kata tampan. Biar kau besar kepala, aku tidak menyesal, apalagi peduli telah mengatakannya berkali-kali.

Rasanya aku terbang. Saat basa-basi sapa yang kunanti datang begitu segera, adalah balasan dari gerak-gerik mataku yang menyorot senyuman indah itu, nyaris tiap sepuluh detik saat kita berada dalam satu tempat yang sama.

Rasanya aku terbang. Saat kau memperlihatkan puisimu yang mencuri hatiku dalam hitungan detik saja. "Kau adalah ahli kunci!" aku bergeming dalam hati yang sudah lama kukunci karena rusak.

Rasanya aku terbang. Kita habiskan hari-hari dengan sederhana; makan siang dan malam bersama seadanya, menonton televisi sembari beer me, beer you tawa dan bermain gaple hingga tengah malam. Sesederhana itu aku bisa begitu cinta.

Dan akhirnya.
Rasanya aku jatuh.

Rasanya aku lumpuh. Sayapku tak lagi bisa terbang. Tak ada angin di antara kepak sayapku. Tak ada. Sehalus pun hembusan nafasku.

Rasanya aku lumpuh. Sebelah sayapku patah. Bukan. Tidak hanya sebelah sayap, hati pun lebih parah dari patah; pecah.

Rasanya aku tidak ada. Saat kau membawa angin bersyarat; "Bisakah kau membuatku menyesal jika aku kehilanganmu (lagi)?" tawarmu dengan tegas. Dengan keadaan gemetar, "Bisa!" kujawab dengan lantang. Tapi kenyataannya, ketabahanku menanti angin pujaan terbang meretas kecemasan. Alangkah tragis, aku yang mencintaimu dengan sepenuh hati dan kau mencoba mencintaiku dengan begitu hati-hati; berbekal niat ingin pergi meninggalkanku (lagi).

Akhirnya.
Rasanya aku butuh suntik mati. Biar cinta ini kukubur sendiri. Sebab, aku tak bisa berjuang sendiri dengan sebelah sayap yang patah dan hati yang pecah.

Rabu, 21 November 2012

Seikat Bunga Tulip Hitam.

Pernahkah kau menyangka? Langit yang tadinya berwarna merah muda, dalam satu kedipan mata dapat berubah dan berwarna hitam. Padahal telah kusingkirkan kelam dari awan, dari gagak hitam yang terbang, dari malam. Aku yang tidak menyangka, kau merusaknya dengan membawakanku seikat bunga tulip hitam. Apa kau bodoh? Sedang aku perlahan-lahan, masih sibuk melukisnya dengan lembut bulu angsa. Kemudian, aku dihujani lelehan awan, sekujur tubuhku hampir dibaluri hitam. Sedih. Melihat kau melangkah tanpa ada raut penyesalan, menghampiri seseorang bergaun hitam di kejauhan sana, di bawah payung hitam. Berdua seperti sedang merayakan kebahagiaanku yang dimakamkan oleh kegelapan. Semua karena seikat bunga tulip hitam sialan, adalah tanda kematian yang tak akan pernah bangkit dan berulang.

Kupangku dagu di atas lutut yang kurangkul dengan kedua lenganku. Biarlah langit bergemuruh, aku tak mau merayakan kepedihan dengan luruh tangis. Biarlah aku berdoa dengan cara berpuisi untuk menghibur kesedihan. Hanya tabur bunga yang mencolok merona, mencoba menenangkanku dengan ranum yang ia punya. Dan air mawar, membasahi tanah yang masih basah, makam yang baru saja kaugali dan kaututup dengan amat buru-buru. Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Kesalahan apa yang langit buat padamu? Kesalahan apa yang kubuat hingga kau memberiku seikat bunga tulip hitam sialan? Jika kau tidak suka dengan warna merah jambu, aku akan melukisnya kembali untukmu tapi tidak dengan warna hitam. Sebab, aku sudah terlalu lama dalam gelap. Aku tak ingin makin akrab, seolah teman karib yang takkan pergi meski ditinggal mati. Aku tak ingin sekawanan burung gagak bertengger nyaman di ranting pohon yang tak berdaun, aku mengutuknya untuk itu.

Lalu, yang terlihat hanya dua garis hitam yang makin menjauh. Kemari! Bawalah langit hitammu dan seikat bunga tulip hitam ini ke bumi bagian manapun kau pergi. Sebab, aku tidak sudi!

Senin, 19 November 2012

Siapa?

Perpisahan kali ini aku lebih tenang dari apa yang pernah terjadi sebelumnya dan aku tidak mengatakan bahwa aku menerimanya, yang aku katakan "Gunakanlah waktumu sampai kau merasa cukup dengan ketabahanku." setelah aku menjatuhkan tangis sedikit demi sedikit dan menyisakan air mata (bahagia) yang lain untuk menyambutmu saat kembali nanti. Aku tak ingin memaksamu dengan begitu tampak sedih, aku akan membiarkanmu berlari hingga letih dan membutuhkan segelas air putih. Aku tahu, kau tak inginkan aku untuk datang menanyakan apa alasanmu, tapi kakiku rela bertelanjang di atas aspal hanya untuk menujumu. Sementara matahari tak meredupkan teriknya sama sekali dan kau tak juga memecah keheningan dengan sapa, tak sepatah kata pun. Dan aku tetap tabah.

Ketabahan seperti apakah yang kauminta? Seperti pasir pantai yang rela didera tanya tiap kali ombak datang lalu meninggalkannya. Seperti seekor anjing yang selalu menyambut tuannya dengan ceria meski ia baru saja kehilangan tulangnya. Seperti lilin yang butuh sang gelap untuk bisa membuktikan ketulusannya.

Saat kau sudah tahu seperti apa ketabahan yang kaumau, dengan waktu yang kauhabiskan. Aku telah santai karena semua sudah kupersiapkan. Di hari itu pula, daun-daun gugur akan menjelaskan padamu tentang cintanya yang teramat tabah pada angin.

Aku tidak sedang membujukmu.
Aku tidak sedang mencari pembenaran akan sayang yang teramat dalam untukmu.
Dan aku tidak sedang membenarkan atau menyalahkan siapa-siapa,
Aku hanya sedang dipenuhi banyak tanda tanya;


"Entah siapa yang brengsek di sini?
Aku, kau, atau hujan yang turun tadi malam."


"Entah siapa yang bajingan di sini?
Aku, kau, atau permainan yang sedang dimainkan saat ini."


"Entah siapa yang bodoh di sini?
Aku, kau, atau kesetiaan ini."


"Entah siapa yang konyol di sini?
Aku, kau, atau kecemasan ini."


"Entah siapa yang jahat di sini?
Aku, kau, atau perbedaan ini."


"Entah siapa yang jadi pembunuh disini?
Aku, kau, atau rindu ini."


"Entah siap yang benar di sini?
Aku, kau, atau kepala batu."


"Entah siapa yang salah di sini?
Aku, kau, atau daun gugur yang rela ditiup angin."


"Entah siapa yang berkhianat di sini?
Aku, kau, atau puisi manis dua bulan lalu."


"Entah siapa yang hina di sini?
Aku, kau, atau ketabahan ini."


Siapa?

Senin, 12 November 2012

Selamat Ulang Tahun, Kekasihku.

Puisi ini sudah cukup lama, jauh sebelum kamu berulang tahun, tapi entah kenapa aku belum cukup berani menuliskannya. Sebab, bagiku mencintaimu tak pernah terbata oleh kata-kata, dan sampai akhirnya dengan gagah berani kumulai menyusun kata-kata yang selama ini sudah cukup lama kubenamkan di kepala. Maaf, jika ini sudah terlambat.


                                                                                            Puisi untuk ulang tahun kekasihku.
                                                                                            09 November 2012

"Kekasihku..
Kamu tahu? Ini hanyalah seujung kuku dari segala doaku.
doa-doa yang mengalir dalam denyut nadiku.
Kamu tahu? Kamu adalah nadi itu, dari segala kata-kata yang tertulis dalam sini,
seperti matahari dan bumi, seperti sepasang kekasih yang gemar berpuisi.
Kamu tahu? Senyumanmu adalah jutaan kali mega kebahagiaan,
seperti segala sebab, mencintaimu itu baik.

Tuhan tahu, kukenali kamu bersama senyuman terbaik dariNya,
manis, kupastikan ciumanmu pun hangat.
Sehangat kuning gading yang matahari persembahkan pada bumi,
diiringi kicauan burung dan kesejukkan embun yang menjatuhkan diri.

Terima kasih..
Karena telah membiarkanku menikmati senyuman itu,
menyimpannya ke dalam relung jiwa abu-abu.
Kujatuhkan berada dalam kedalaman terjauh,
dan kau berhasil membuatku menjatuhkan cintaku pada satu.
Kamu.

Karena telah kudapati kebahagiaan dari tangan Tuhan.
Kamu.
Di hadapanku ada kupu-kupu berwarna merah jambu,
berputar-putar menari kegirangan.
Menyemarakkan jutaan percikan kembang api cinta,
untuk merayakan ulang tahunmu.

Selamat ulang tahun, kekasihku.
Teruslah kamu tersenyum dan berbahagia.
Sebab, mencintaimu itu baik,
dan mencintai senyumanmu itu hal terbaik."



Minggu, 04 November 2012

Sepasang pohon yang merindukan cahaya.

Kau berdiam adalah hutan belantara, di mana semua begitu lengang. Kulantahkan ranting untuk memeluk diam yang kauagungkan. Dan aku ikut terjerat dalam dirimu yang berdiam, entah, malapetaka.

Aku dan kau adalah sepasang pohon, yang sedang digoyahkan badai yang riang dalam hutan. Saat reda, keraguan adalah hutan belantara akan menjadi hening dan gelap gulita. Kita hidup di dalamnya dan cobalah untuk berharap, sekali saja. Sebab, kujanjukan di sanalah keraguanmu akan dimakamkan, dan sesekali akan ada serangga-serangga kecil bernyanyi merayakan kematiannya, dan itu bukanlah riuh dosa. Akan ada kunang-kunang menari, yang akan ikut serta merayakan kebahagiaan kita.

Kekasihku, kita adalah sepasang pohon yang merindukan cahaya dalam gelap gulita hutan belantara. Sebab daun-daun ini butuh untuk memasak cinta dan menggugurkannya agar terus hidup. Maka, kumohonkan padamu untuk tak lagi berdiam, dan berhentilah menyulam keraguan yang akan menjauhkan kita dari cahaya. Dan kujanjikan lagi padamu; biarlah akar kesakitanku yang akan menanggung semuanya untukmu.

Karena aku adalah pohon pasanganmu, dan cintaku adalah luruh daun yang tak pernah membenci badai besar sekalipun.

Adakah pagi yang lebih menyedihkan dari ini?

Alangkah pagi, mata merelakan tubuh ini
merenungkan jiwanya sejadi-jadi.
Riuh memecah melupa, dan memutar kenangan hari-hari kemarin.
Sedang selimut masih membalut duka,
yang belum juga ingin pergi.

Alangkah pagi, bantal menjatuhkan tumpukkan mimpi,
yang belum sempat kusudahi.
Riuh memecah tenang, dan memutar kenangan hari-hari kemarin.
Sedang guling masih kupeluk dengan erat,
sebab hangat tubuhmu masih begitu lekat.

Sudah pagi, bangunlah dari ranjang.
Masih akan ada malam, untuk kaulanjutkan
melupa yang berharga.

Hujan adalah persembunyian paling aman bagi kesedihan.

"Hujan akan segera datang." bisikmu di telinga kananku.
Kau selalu tahu, kapan akan datangnya hujan,
sedang aku selalu ketakutan.

Kali ini, kubiarkan hujan menghujam tubuh mungilku.
Biar dingin merapuhkan tulangku dengan gigil.
Aku pulang dengan basah sekujur tubuh,
dan itu adalah satu-satunya yang aku suka
dari hujan.

"Hujan akan segera berhenti." bisikmu di telinga kiriku.
Kau selalu tahu, kapan akan berhentinya hujan,
sedang aku selalu ketakutan.

Ketakutan. Seharusnya aku tidak lagi,
kukeringkan badan akan basah hujan.
Kesedihan. Menggantikan ketakutan,
semua telah kering, kecuali.

"Aku membenci hujan." katamu, sembari mengusap pipi basahku.

Jumat, 26 Oktober 2012

Kasih pada Senja


Tiga hari yang lalu, aku mendapati sebuah senyuman manis di pinggir ranjang, bersama segelas coklat hangat. 
"Terima kasih, Senja."
"Kembali, Kasih."

Pagi ini, aku mendapati lagi sebuah senyum, tidak manis, melainkan bersama derai tangis.
"Mungkin kau membutuhkan sapu tangan ini."
"Aku lebih membutuhkan sebuah pelukan."

Senja, aku harus pergi, entah sampai kapan.
Segera pulang.
Senja, kau butuh makan, 
sebab sebuah pelukan tak lagi membuatmu kenyang.
Senja, tak lama lagi perutmu akan membesar.

Rabu, 03 Oktober 2012

Jarum jam

Kau menyebutnya pagi dini hari dan aku sibuk berteriak dalam hati, itu adalah benci yang terlalu dini. Kau menyebutnya malam dan aku sibuk berteriak dalam malam, itu adalah kelam. Jarum jam. Lebih menyakitkan dari rindu yang menusuk tulang, terbang bersama asap putih, mengendap dalam ampas kopi. Aku mulai muak dengan detakmu, yang terus berputar, yang tak kunjung sampai pada waktu yang akan membawa pesan sebagai pelukan. Aku ingin tidur dan tidak memimpikan apapun, termasuk si pemilik rindu. Aku ingin tidur dan tidak mencemaskan kepergiannya yang meninggalkan air mata yang berubah menjadi telaga kenangan. Kecurigaanku, ada yang menukar kebebasan dengan kekangan, keheningan dengan kebisingan, dan kenangan tetap dengan kedalamannya.

"Kau bersabar, maka kita akan berdamai."
"Dalam kasih, aku telah diciptakan sepaket dengan ketabahan."
"Coba pikirkan kembali. Apakah pantas, kau yang tak pandai berenang, nekat menyelami telaga hanya untuk memunguti apa yang tidak berguna sama sekali?"
"Pantas atau tidaknya, waktu yang punya jawabannya dan kau adalah perantaranya."


Aku terdiam dan makin dalam tenggelam. Jarum jam. Aku hanya ingin menyeberangi telaga kenangan, untuk merebahkan tubuhku di bawah pohon di seberang sana. Pohon itu adalah kita. Aku dan kekasihku, si pemilik rindu yang syahdu. Entah apa namanya. Dedaunan adalah rindu yang mengering, gugur karena kelelahan. Buah adalah manis ketabahan. Jarum jam, tidakkah kau ingin menolongku, menyelamatkanku dari duka-luka?


Doa; "Kekasih, hiduplah sekali lagi. Menjadi bara api, yang akan membakar habis dukaku selama ini."

Jarum jam, padaku; "Saat senja, berdoalah. Saat fajar, sebelum pagi-kesiangan, sesaplah secangkir kopi dan berdoalah sekali lagi. Ulangi setiap hari yang dibumbui bau sengat rindu yang tak lagi wangi, bagimu."

Rabu, 05 September 2012

Tentang cinta, kehilangan, dan kesedihan.


Cinta membenci untuk mengatakan bahwa sore telah mengantarkan kesedihan melalui kehilangan. Cinta tidak menginginkan kesedihan, cinta tidak menginginkan kehilangan. Kesedihan. Kehilangan. Cinta membenci keduanya.


"Sore menjemputnya, bukan untuk gelap malam. Senja membawanya kepada cahaya Tuhan."


Akankah malam menyelamatkan cinta dari kesedihan, menghapus kehilangan dengan kegelapan? Selamatkan! Hapuskan! Menyadarkan cinta, bahwa ini bukanlah kebenaran, tak pernah ada dalam kenyataan. Sebab kehilangan dan kesedihan, mata dan air mata, dua pasang adalah jodoh yang sudah Tuhan ciptakan, dan cinta sedang berada di antara mereka. Cinta tidak ingin mata menjatuhkan air mata kesedihan untuk mengakui bahwa cinta sedang kehilangan.

Kehilangan, yang mencintai seumur hidupnya, yang mencintai seperti buah cintanya, yang mencintai bahwa cinta pertama adalah terakhir, keikhlasan adalah cinta, dan kesetiaan sebenarnya adalah rahasia.


"Cinta, bawalah kepasrahan ini kepada kebahagiaan abadi yang Tuhan janjikan.
Tuhan, peluklah cinta sehangat kepasrahan yang telah diserahkan.
Amin.."

Selasa, 24 Juli 2012

Amplop coklat


Esok pagi, aku akan berhenti mencemaskan rintik hujan, mengobati gundah dengan secangkir mocha latte hangat persembahan. Sembari menatap matahari setengah tenggelam, meski penuh. Menghabiskan tiap sesap dengan khusyuknya menyulam asa yang belum sempat kuselesaikan, sejak aku terlalu sibuk memikirkan seseorang yang kusebut Tuhan atas sajak-sajakku.

Kali ini, giliran benang merah jambu, berharap menuai kisah baru yang lebih lembut untuk kulumat dengan lidahku. Menyeruam sebuah nuansa bening, seraya nama yang selalu kusebut dalam hening kalbu. Meski detak jam dinding memecah hening, tiap detik berdenting, tiap makna yang disampaikan oleh lampu di atas meja kerja, yang hanya sudi menyoroti kertas kosong, tanpa setitikpun tinta menodainya. Maukah ia menuliskan sesuatu di atasnya? Serupa ia telah menodai kisahku, dan kali ini yang aku ingin adalah mewarnai.

Harapanku telah tersulam bersama benang merah jambu tadi, selain itu ada benang biru awan yang mengindahkannya, membentuk hati yang mempertegas warna apa yang sedang menguasai hati ini. Bukan hitam, bukan warna lain yang telah diciptakan selain salah dua yang kusebutkan tadi. Karena aku yang menyulam, karena ada seseorang yang akan menuluskan kisah dalam selembar kertas, bahkan lebih. Sebab asa dalam kisah adalah selamanya. Jika tak di sini, mungkin nanti, musti abadi.

Sembari menunggu ia menyusun warna-warni pada batangan crayon, biarlah kulamunkan semua setinggi balon oksigen yang akan dipecahkan oleh tekanan udara di dalamnya. Tak perlu khawatir, karena itu yang aku harapkan dari amplop surat berwana coklat berlilit tali balon oksigen tadi, berisi surat yang kurahasiakan isinya dan ia adalah penerima. 

"Nanti, jika kau menemukannya sedang tersangkut di ranting pohon atau terselip di sela-sela dedaunan, ambillah, dan baca. Dengan segera, temui aku di bawah sorot lampu taman bersama bangku taman yang lengang."

Minggu, 22 Juli 2012

Jelmaanmu

Aku ingat, pernah ada yang berbisik lembut di telinga kananku, "Lupakanlah, aku tak ingin semakin dalam menyakitimu.", katanya. Aku masih ingat betul siapa pemilik suara itu. Benar, kau yang hingga kini masih berenang-renang di kelenjar air mataku, dan menjatuhkan dirinya saat aku merindu. Seakan nyata tiap kali rekaman wajah tampanmu bermain di balik kedua mataku, seperti sedang menonton drama korea yang tragis dan mengharu-biru. Betapa aku mencintai tiap sayatan rindu yang meneteskan darah ketidakrelaanku melepasmu dengan pelukan lain yang menyambutmu, bukan, yang benar adalah merampasmu. Tapi, jika kebahagiaanku di dunia hanyalah sebatas rindu yang berumah dengan betahnya di rongga dadaku, semoga kebahagiaanku di akhirat nanti, segala atas kepemilikanku padamu, selamanya. Sangat kuaminkan dalam hati.

Karena bagiku, Tuhan menciptakan rindu hanya untuk mengajarkanku bagaimana mencintaimu dalam semu, mendoakanmu dengan nyanyian-nyanyian syahdu. Tapi, tidakkah kau merasakan sentuhan kerinduanku yang dibawa oleh angin di musim panas padamu, yang dijatuhkan oleh hujan di musim kemarau hanya untukmu dan yang dipersembahkan oleh matahari di musim dingin yang membekukanmu? Semua itu dariku, Sayang. Untukmu, dari dalam sini. Maka, bolehkah aku memintamu untuk berbisik satu kali lagi, dengan kalimat yang berbeda, yaitu "Aku mencintaimu". Dengan begitu, aku akan tidur dengan nyenyak malam ini, dan menyusun masa depan kita dalam mimpi. Indah sekali, bukan? Senyumku tak pernah semanis ini dan suaramu tak pernah semenggoda itu. Menggodaku untuk terus menulis tentangmu, tentang kita. Menggodaku untuk terus tidur, hanya untuk menemuimu. Menggodaku untuk terus mencintaimu dalam semu, dalam seni merindu versiku.

Sayang, tak perlu kau merasa terbebani jika kau tak ingin, aku hanya ingin kau menyempatkan diri untuk mampir ke sini, ke dalam hatiku lagi. Untuk membersihkan rindu-rindu yang telah berjamur, dan melakukan hal-hal menyenangkan di dalam daftar yang telah kutulis setahun yang lalu. Namun, jika kau tak dapat juga ingin, bolehkah aku memaksa dan  menjemputmu? Bersama kereta kuda berwarna kesukaanmu, diiringi oleh nyanyian syahdu yang sering kunyanyikan sembari merindumu. Indah sekali, alangkah ruginya jika kau melewatkannya. Karena aku yakin, dia yang memelukmu dengan kedua tangan yang terpasang sarung tinju takkan bisa melakukan apa yang selalu bisa aku lakukan untukmu dengan cinta selembut coklat yang lumer di lidah, dengan cita-cita yang telah kususun dengan logika yang mendominasinya.

Ingat, Sayang. Ini bukan janji, ini adalah ...

Rabu, 04 Juli 2012

Ibu..

Ibu, yang mulia
Kupanjatkan cinta menjelma doa-doa
Kukecup matamu yang basah
Kupungut remah-remah resah
Kukunyah dan kutelan duka
Kututupi luka yang menganga

Ibu, yang mulia
Harum, wangi Sorga
KataNya; aku setuju padaNya
untuk Ibu,
atas nama cinta dan segala
kumohon segala ampunan padaNya

Selamat Ulang Tahun Ibu..
03/07/12

Selasa, 03 Juli 2012

Hening...

Sayang, mari kita coba lagi, apa saja selain melerai hening. Sudah hampir dua jam kita duduk rapi tanpa kata, berteman apa-apa. Ada apa dengan kita? Kita mesra, kita paham, kita hanya, kita...

Ini cangkir ketiga, piring kedua, dan kita masih sama. Aku sangat menikmati keheningan ini, keheningan yang kulumat dengan hangat, keheningan yang kuanut sembari memeluk sorot mata, seorang laki-laki kecintaanku. Tak ada sepatah kata pun terbata, hanya tatap mata, hanya bertukar nafas dariku-darimu, dalam diam.

"Sayang, bolehkah aku berbicara?" tanyaku. "Silahkan, Sayang." jawabmu. Akhirnya, sesepi pecah dengan suara serak-serak basahnya. Dan aku kembali hening, kutundukkan kepala, kupungut huruf demi huruf penyusun kata-kata, "Mari kita pulang" dan "Aku mencintaimu".

Kamis, 28 Juni 2012

Kasih, ada yang ingin kusampaikan padamu


Kasih, ada yang ingin aku sampaikan, padamu.
Kau sedekat nadi. Kau seindah kupu-kupu. Kau sesantun sebuah pagi. Kau, yang sedang menghitung debar-debar rindu. 

Kita pernah bersama. Kepadamu, kubebaskan rahasia satu per satu. Kepadamu, kusetiakan harapan yang tertoreh dalam basah air mata kita, saat itu. Kepadamu, Kuberitahu segala candu akan kamu. Iya, kamu, maha candu atas segala candu yang pernah kucicip saat merindumu.

Kita pernah berduka. KepadaNya, kulemaskan lutut, bersujud. KepadaNya, aku mengemis kebebasan yang pernah kubebaskan padamu. KepadaNya, aku menghamba sanda akhirat, dunia, dan cinta.

Tak lagi kita, dan aku yang pernah kehilangan, di bawah jembatan penyebrangan menuju pulau harapan. Tak lagi kepadamu, kepadaNya. Kepada nadi, kepada debar-debar rindu, kepada kupu-kupu, kepada pagi, kupersembahkan sebuah demi, yang akan menghanguskan semua sepi.

Kasih, ada yang ingin aku sampaikan, padamu.
Kau tak lagi sedekat nadi. Kau tak lagi seindah kupu-kupu. Tak lagi sesantun pagi. Kau, takkan pernah lagi menghitung debar-debar rindu ini.

Rabu, 27 Juni 2012

Fiksi bertajuk true story

"Seharusnya aku sadar, saat kau mengaku bahwa kau adalah kenangan. Seharusnya!", teriakku dalam hati. Aku sudah kelelahan, berusaha melupakanmu tiap kali bangun, pertama kali membuka mata, berusaha meniadakan segala dalam alam bawah sadar, saat tidur. Sudah terlalu banyak, terlalu dalam lubang yang kubuat sendiri, dengan luka-duka mengingat, sengaja atau tidak. Tadinya, mungkin dengan aku memaafkan, aku bisa melupakan dengan sendirinya, dengan salah satu cara "Aku sudah memaafkan", berulang-ulang sebelum dan sesudah kuhabiskan waktu luangku. Tapi nyatanya, menambah barisan kesia-siaan, lagi. Aku sudah bosan, aku sudah kehabisan cara, menangis pun tak lagi bisa. Sedangkan, dengan begitu aku bisa tidur dengan ketiduran, bukan kesengajaan, dan itu sangat menyenangkan, meski terkadang wajah-wajah dari kenangan datang, sekelibat. Tak masalah, meski tidak juga kebenarannya.

Di dalam kepala ini, seperti ada yang berlari-lari kecil, lari di tempat, dan lompat sesekali. Tapi siapa? Apa? Haruskah aku bertanya pada rambut-rambut yang melambai saat ditiup angin? Meraka pun tidak tahu. Lantas, aku harus bertanya pada siapa, pada Tuhan? Ia pun hanya diam, dan aku mulai geram. Geram, karena ini tak lagi menjadi sebuah lelucon, ini adalah sebuah omong kosong, kataku membohongi kalian semua yang membaca tulisan ini. "Hahahahaa..", tawa kecil dalam hati menyadari kekonyolan diri sendiri, curiga jiwa ini tak lagi imbang, dan menjadi bimbang. Masih waraskah aku? Waras, selama aku bisa membedakan mana yang dinamakan memaafkan dan melupakan, lagi dan lagi kembali pada topik awal, tanpa sengaja, meski disengajakan. Sudahlah, ikuti saja kemana jari-jari ini menjatuhkan dirinya pada tombol-tombol abjad, menyusun kata demi kata, duka demi duka, kenangan demi sebuah kesenangan. Kesenangan yang mana? Di mana masa lalu aku pernah mengecap pahit, manis, atau apalah itu.

Akhirnya, tak ada lagi yang berdenyut dalam kepala, dan sekarang berpindah ke dalam dada, buah dada? Bukan, yang kumaksud adalah gumpalan darah sebesar kepalan tangan, menurut sebuah teori kesehatan, katanya. Hati namanya, hati mana yang bisa berpikir? Itulah bedanya, yang membedakannya dengan kita, kulirik kepala. Jangan dipraktekkan, ini hanyalah omong kosong, sedikit hiburan, bualan. Cara kecil untuk menghibur kebimbangan, yang dirasa seperti berada dalam kapal kecil terombang-ambing di lautan lepas, lautan kenangan, namanya. Kenangan, lagi? Beri aku kata ganti sementara, hanya dalam tulisan ini saja. Jika tidak, kulanjutkan, berulang kusebut "Kenangan", dengan lantang. Jangan bosan, ini belum seberapa, belum apa-apa, apalagi luar biasa. Ini cerita fiksi, bertajuk true story.

Baiklah, harus kumulai dari mana ceritanya? Dari tadi? Atau dari hati? Seperti sebuah judul lagu, yang menghantarkan beberapa orang menuju tidur, aku tidak termasuk karena penghantar tidurku itu adalah kenangan yang kusebut tadi. Menghayalkan, duduk berdua di bawah pohon rimbun, sembari menghitung domba lewat, berbaris, bukan bergaris. Sebab domba itu berbulu, tak seperti zebra yang bergaris hitam dan putih. Teringat, aku diumpamakan sebagai warna putih dan kenangan sebagai warna hitam, aku kalah gelap, aku kalah pekat. Itulah permasalahannya, jika aku yang lebih banyak, jadilah keragu-raguan, abu-abu. Tak hitam, tak juga putih, abu-abu. Di mana kejelasanku? Kejelasanku adalah putih, dan kenangan adalah hitam, itu sudah jelas, jelas aku sudah kalah. Seandainya, putih adalah gula, dan hitam adalah kopi, alangkah serasinya.

Sekarang, belum waktunya aku tidur tapi aku sudah mulai berandai-andai. Terlalu cepat, terlalu dan makin dalam lah lubang, menganga. Jangan sampai ada yang berpikiran untuk meneteskan air jeruk di atasnya, aku menyerah. Bukan karena perihnya, tapi alangkah teganya. "Sungguh teganya, teganya, teganya.." lirik lagu yang cukup mewakilkan. Aku lupa sampai mana, dan sekarang aku harus melakukan apa? Melanjutkan cerita atau menghitung domba? Sembari menunggu jawabannya, kuseduh sesendok bubuk kopi hitam dengan air panas ketabahan ini, ketabahan menanti kenangan yang siap kusulam kembali. Dan nanti, aku ingin menyulam sebuah baju hangat yang sewaktu-waktu akan menghangatkan rindu yang nyaris membuatku mati beku. Berlebihan, tidak sampai mati, cukup mati suri, hidup lagi dan berharap lupa bahwa aku tak punya kenangan yang kunanti selama ini. Menanti merpati yang tak menepati janji, menunggu kupu-kupu yang hanya datang untuk menghisap intisari. Fiuuuh, barisan kesia-siaanku bertambah lagi.

Baiklah, sebuah cara baru untuk melupakan bahwa aku telah memaafkan, menghapus barisan kesia-siaan, aku menutupi lubang yang kusebut beberapa kali dalam paragraf-paragraf di atas, dengan kuputar lagu Efek rumah kaca - Lagu kesepian. Ingin menutupi atau menambah lubang lagi, di sebelah kanan-kiri. Tidak usah khawatir, aku hanya ingin memancing para katak untuk ikut melantunkan nyanyian persembahan, permohonan atas diturunkannya hujan. Hujan gerimis tipis dari sisi jendela, atau di ujung mata.

Senin, 25 Juni 2012

Dua pasang tangan, kita

Tangan kananmu membawa harum melati,
tangan kirimu membawa terang yang pernah kau janjikan
Dulu, saat kita berjalan di bawah rintik hujan tahun lalu
Apakah aku sedang bermimpi?

"Tidak, Sayang", bisikmu pelan-pelan di telinga kananku.  Jika aku sedang bermimpi, jangan biarkan apapun yang akan membuatku bangun. Pertanyaan apa lagi yang akan aku lontarkan, aku ketagihan, mendengar suaranya yang lembut, pelan-pelan.

Kau mengendap-ngendap mendekatiku, sepertinya aku tahu
Kau penasaran, apa yang ada di tangan kanan dan kiriku
Tangan kananku membawa botol kosong,
tangan kiriku membawa botol kosong

"Untuk apa botol-botol kosong itu?", tanyamu penuh penasaran dan tak lagi pelan. Aku hanya tersenyum, sembari memindahkan harum melati dan terang ke masing-masing botol kosong yang kubawa, dan tak lupa kututup keduanya.

Kelak, saat kita telah berjauhan
Dan waktu adalah satu-satunya yang akan mempertemukan
Botol-botol inilah yang akan menemaniku, sembari merindumu
Saat gelap merangkulku dari segala penjuru, saat bau kecurigaan yang meracuni pikiranku

Minggu, 24 Juni 2012

"Ini puisi", kataku.


"Kau adalah terik, jadikan uap ke titik air
Melekat awan terbawa angin, terjatuh lunglai menyisa hening
Aku adalah kunang-kunang, sinar dingin kerinduanmu yang menjadi inti
Lantas, janganlah kaututupi tubuhmu dengan sehelai sepi, sekalipun

Kau adalah aksara, jadikan indah sajak sang penyair
Memecah hening terekam oleh malam, tergumpal rindu dibalut kenangan
Aku adalah buku, menghapus dukamu dengan tinta kegetiranmu
Menghentikan gerimis tipis yang jatuh dari ujung matamu.."

Kita yang jatuh cinta saat senja, maaf kuralat, bukan kita melainkan aku sendiri. Tak sedih, sebab aku bisa membuatmu jatuh cinta sekali lagi dan ini yang terakhir kali. Aku yang mengada-ada bahwa puisiku adalah tentang kita, adalah usaha kecilku untuk menghibur resahku akan kehilanganmu. Kehilangan? bahkan aku belum pernah memilikimu seujung kuku. Tak mengapa, sebab cinta tak berarti miliki, meski aku tak pernah setuju dengan pernyataan itu. Kau yang dimiliki tuhan dan secangkir kopi hitam pahitmu, itulah duniamu. Tak ada aku, aku tak ada bagimu. Sebaliknya, sebelum aku mengenalmu, tiap butir abu dan ampas kopi yang telah tandas dalam cangkir kopi adalah kesia-siaan, sekarang tak lagi sia-sia, tak lagi pahit jika kunikmati dengan merindumu, mengandai-andai luas, terlepas dari kemustahilanku memilikimu.

Jika ini adalah kesalahan, katakan apa yang menurutmu itu sebuah kebenaran. Jika ini adalah ketidakwajaran, katakan apa yang harus aku lakukan sehingga aku menjadi biasa, terlebih indah menjadi luar biasa, bukan di luar ketidakwajaran yang tak kau suka. Namun jangan pernah kau katakan, bahwa kebenaran dan kewajaran itu adalah ketiadaan.

Adalah kebohongan jika aku berkata "Kerelaanku, serupa ranting yang merelakan daun jatuh berguguran. Serupa sinar dingin yang memberikan cahayanya, cuma-cuma pada kunang-kunang." Aku tak setulus itu, sebab aku meyakini bahwa aku bisa membuatmu lebih berharga dari daun-daun gugur, lebih terang dari cahaya kunang-kunang, dengan menjadi jawaban dari tiap tanda tanya yang mengganggu pikiranmu, butir-butir darah yang ada dalam tubuhmu, tetes air mata kelegaanmu, dan pita suara yang akan menyampaikan tawa bahagiamu, segala, segala-galanya yang kau butuh, yang tak kau sebutkan satu per satu. Aku baik dan aku sanggup menjadi semua itu.

Sebab, saat kau menjadi murung, aku menjadi lumpuh. Saat kau menjadi bahagia, dan aku menjadi makhluk paling beruntung yang melihat sebuah senyuman manis itu. Dan aku menyadari, bahwa aku adalah kau meski tak sebaliknya untukku. Semoga kau membalas puisiku dengan,

"Seburuk-buruknya cinta adalah kerelaanmu untuk tidur berhari-hari hanya untuk menemuiku dalam mimpi, melepas segala keinginanmu untuk miliki senyumanku, memelukku saat deras hujan membasahiku, membasuh basah air mataku dengan sapu tanganmu."



*Puisi dan tulisan ini, terinspirasi dan ditulis ulang, dari sajak seorang teman "Kau adalah terik, jadikan uap ke titik air. Melekat awan terbawa angin, terjatuh lunglai menyisa hening" ~ Budiawan Jb

Sabtu, 23 Juni 2012

Seperti apakah harapan, diibaratkan?

Aku masih tenang, di sini
Hingga kemerahan setengah tenggelam
menunggu ombak membawamu pulang berkelana,
mengarungi lautan yang kau sebut harapan


Serupa induk penyu yang melipir ke pesisir pantai
Membawa ratusan butir telur, yang ia sebut harapan 
Harapannya, tukik akan mengenalinya sebagai induknya
Bukan hangat pasir pantai yang mengeram mereka


Sudah lebih dari tiga jam,
kurebahkan tubuh mungilku di atas pasir pantai, yang kusebut harapan
sembari tersenyum, sesekali pada langit yang mulai menghitam
ialah mereka, yang akan menyampaikannya saat aku tak lagi terjaga


Air laut makin pasang, menyentuh telapak kaki, sesekali
Angin laut makin dingin, menusuk tulang sendi, sesekali
Dan aku masih tenang, di sini
Menggigil, menahan rindu yang tak pernah henti

Jumat, 22 Juni 2012

Ini bukan sajak; adalah hal-hal yang tak selesai

Rasa ini sungguh tak lazim, menzalimi diri sendiri, membahagiakan yang tak paham arti.

Jangan pernah lagi datang, meski hanya sekelibat dalam mimpi, sedetik dalam dekapan.

Mimpi adalah kota kita, di mana aku bisa menata kita; hati dan masa depan bersama.

Kau yang hadir dalam bunga tidurku, memecah ketenangan alam bawah sadarku. Sakitnya, lebih indah dari semua itu.

Seandainya, kenangan sesederhana foto dalam dompet.

Semenjak kita tak lagi seranjang, tak ada yang lebih pagi dari embun di ujung dedaunan.

Telah kubawa pulang, purnama. Bukan bulan, melainkan binar mata, yang menenangkan duka.

Saat kerinduan tak lagi memecah keheningan, pertanda bahwa ketiadaan telah biasa.

Saat kesedihan jauh lebih dalam dibanding ketabahan, sudah saatnya kaburkan, kuburkan!

Saat kewajaranku telah lelah, sudah saatnya kesengajaanku bermula.

Adalah benar, keputusanku untuk bersikap seperti itu; berpura-pura tak mencintaimu.

Hujan, samarkanlah basah mataku.

Kemerahan setengah tenggelam, gelap mendekap bulan perlahan. Kuning gading, maukah kau memeluk rinduku yang mulai menghitam?


Kekasihku, jangan terlambat, telah kutitipkan rindu berlilit pita merah jambu pada cahaya kuning gading, esok pagi.



Aku tenang, mendengar denyut hujan, mengkhayalkan ada sepasang tangan yang berputar mengelilingiku, memelukku dari segala penjuru.



Jika dekat hanya sekadar dekat, apalah guna kabar yang kuibaratkan sebuah pelukan?



Jika kau tak paham atas sajak-sajakku, pejamkan matamu, ciumanku akan menerjemahkannya padamu.



Aku ingin menjadi bunga daisy untukmu, nyatanya, aku bagimu adalah bunga tulip hitam yang hampir layu.



Biar kukunyah duka yang tak lagi sanggup kautelan sendiri, sebab dengan cinta, dapat kutelan mentah-mentah.



Merokok dapat menyebabkan nyeri dada, tak lebih nyeri dari menahan rindu; sebab abu adalah kesia-siaan.



Perempuan penyuka kopi, menjatuhkan kenangan di atas cangkir kopi



Telah kutitipkan rindu pada senja, esok, jika kau sempat, sapalah ia sejenak saja.



Seandainya jatuh cinta bisa dikendalikan, mungkin cuma lecet dan sakit sekadarnya.



Tidur adalah cara kecil untuk melupakanmu, sejenak, tak berhasil dan kau datang, menyelam dalam mimpi tidurku.



Aku ingin pulang, bersama daun gugur yang kau jatuhkan. Aku akan kembali datang, bersama musim semi yang selalu kaunantikan.



Entah aku yang terlalu sibuk merindukanmu atau kau yang terlalu dalam meletakkanku dalam hatimu?



Tak banyak harapan yang kutitipkan pada balon-balon yang akan kuterbangkan, cukuplah untuk memancing hujan semalam.



Jika rokok dan kopi adalah takdir yang ada untuk merusak jantungku, maka malam dan setumpuk kenangan yang kautinggalkan adalah kefanaan.



"Berapa lapis? Ratusan." adalah mewakili perhitungan kasar atas rindu yang tak pernah kuhitung dengan sabar.



Sehidup, semati; kukunyah renyah rindu ini, enyahlah kita, setelahnya.



Malam selalu pandai mengajarkanku bagaimana cara berdiam, dengan hikmat, mendengar detak-detak kerinduan.

Coldplay - The scientist

 

Blog Template by YummyLolly.com